Statistik internal Meta menunjukkan bahwa kebijakan ini telah mendapat sambutan positif. Sekitar 97% remaja usia 13–15 tahun dilaporkan telah mengaktifkan pengaturan akun remaja tersebut. Hingga saat ini, tercatat lebih dari 54 juta pengguna aktif yang terdaftar menggunakan Akun Remaja di seluruh dunia.
Langkah pembaruan Meta ini juga mencakup pembatasan terhadap konten ujaran kebencian yang mengandung unsur penghinaan terhadap kelompok rentan seperti transgender dan non-biner. Meski beberapa bentuk ujaran kebencian ini masih diizinkan pada pengaturan akun dewasa dalam kerangka tertentu, pembatasan tersebut tidak berlaku untuk pengguna berusia di bawah 18 tahun. Artinya, anak-anak dan remaja akan terlindungi dari konten yang dapat berdampak negatif terhadap persepsi diri dan identitas mereka.
Di balik penguatan kebijakan ini, terdapat tekanan yang kuat dari berbagai pihak—mulai dari legislator, regulator, orang tua, hingga komunitas pemerhati anak. Meta memang telah lama menjadi sasaran kritik karena dinilai kurang sigap melindungi pengguna muda. Sorotan ini memuncak ketika muncul laporan investigatif bahwa platform Meta bisa memicu gangguan mental, tekanan sosial, dan membuka celah bagi eksploitasi seksual daring terhadap anak-anak.
Puncak tekanan terjadi tahun lalu saat lebih dari 30 negara bagian di Amerika Serikat menggugat Meta. Gugatan itu menuduh perusahaan melakukan eksploitasi terhadap anak muda melalui desain platform yang adiktif dan algoritma yang memicu ketergantungan. Tak hanya itu, CEO Meta, Mark Zuckerberg, bahkan harus hadir di hadapan Kongres AS dalam sidang penting terkait perlindungan anak secara daring. Dalam kesempatan tersebut, Zuckerberg menyampaikan permintaan maaf langsung kepada keluarga korban eksploitasi seksual yang terjadi melalui platform milik perusahaannya.