Selama konfrontasi ini, Rusia dilaporkan melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang serius, termasuk pembunuhan, penyiksaan, dan penghilangan orang secara paksa. Penyidikan terhadap pelanggaran-pelanggaran ini sering kali tidak dilakukan, sehingga menciptakan suasana ketakutan yang mendalam di kalangan penduduk sipil. Berbagai organisasi internasional mengecam tindakan Rusia, tetapi pemerintahannya bersikukuh bahwa tindakan tersebut diperlukan untuk menjaga stabilitas dalam negeri dan memerangi separatism.
Perlawanan para pejuang separatis di Chechnya tidak hanya bertujuan untuk meraih kemerdekaan tetapi juga menggambarkan kebangkitan identitas nasional yang kuat. Mereka didorong oleh keyakinan untuk mempertahankan hak mereka sebagai sebuah bangsa, meskipun dalam banyak kasus perjuangan mereka berujung pada kekerasan dan pembalasan. Salah satu tokoh yang menonjol dalam perlawanan ini adalah Aslan Maskhadov, mantan panglima perang yang seiring waktu menjadi presiden Chechnya yang terpilih saat pertempuran semakin menguat.
Meskipun konflik telah mereda, dampak Tragedi Chechnya tetap terasa hingga hari ini. Wilayah yang dulunya hancur berantakan kini secara resmi telah diperintahkan untuk direkonstruksi dan dikelola di bawah pemerintahan Ramzan Kadyrov, namun banyak yang berpendapat bahwa Chechnya tetap berada di bawah kontrol Rusia yang ketat dan berpotensi menjadi bom waktu yang siap meledak. Identitas dan aspirasi separatis tidak sepenuhnya terhapus, mengingat banyaknya populasi yang melawan penindasan dari pemerintahan pusat.