Kekerasan pascareferendum menciptakan tantangan besar bagi komunitas internasional dan menunjukkan kegagalan diplomasi yang nyata. Banyak pihak menganggap bahwa intervensi yang terlambat oleh pasukan internasional—yang baru dikerahkan setelah konflik berkepanjangan—menggambarkan lemahnya upaya diplomasi dalam menyelesaikan krisis di Timor Leste. Diplomasi yang seharusnya dapat mencegah kekerasan dan melindungi rakyat Timor Leste, justru terlihat tidak efektif.
Proses diplomasi sebelumnya pun tidak sepenuhnya berhasil, dengan kesepakatan antara pihak-pihak yang bertikai sering kali terabaikan. Aksi-aksi yang diambil oleh TNI dalam menanggapi gerakan kemerdekaan juga sering kali memicu reaksi keras dari masyarakat internasional. Negara-negara besar dan organisasi seperti PBB mulai menekan Indonesia untuk memberikan jalan bagi referendum. Namun, terhadap perkembangan ini, TNI masih mempertahankan pengaruh yang kuat dan berupaya untuk menekan suara-suara kemerdekaan.
Referendum 1999 di Timor Leste menjadi simbol dari harapan dan perjuangan rakyatnya untuk kebebasan serta hak menentukan nasib sendiri. Namun, hal itu juga menyoroti berbagai kegagalan dalam diplomasi. Walaupun akhirnya, Timor Leste meraih kemerdekaan pada 20 Mei 2002, jalan yang dilalui tidaklah mudah. Diperlukan perhatian besar dari masyarakat internasional, termasuk peran aktif PBB, untuk membantu menjaga keamanan dan mendirikan pemerintahan yang stabil setelah referendum.