Perempuan Jepang menghabiskan waktu lima kali lebih banyak daripada laki-laki untuk pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak. Beban ganda ini secara signifikan membatasi waktu dan energi mereka untuk mengembangkan karier profesional.
Banyak perempuan juga terjebak pada pekerjaan non-reguler atau paruh waktu. Jenis pekerjaan ini seringkali menawarkan gaji lebih rendah, minim tunjangan, dan sedikit peluang untuk promosi. Akibatnya, mereka kesulitan membangun jenjang karier yang stabil dan progresif.
Akses penitipan anak yang terbatas juga menjadi kendala. Ketersediaan fasilitas penitipan anak yang memadai dan terjangkau sangat krusial bagi orang tua yang bekerja, terutama bagi ibu. Kurangnya akses ini memaksa banyak perempuan untuk memilih antara karier dan keluarga, yang seringkali berujung pada pengorbanan karier.
Hambatan Budaya Kerja yang Kaku
Selain masalah beban rumah tangga dan pekerjaan non-reguler, budaya kerja Jepang yang kaku juga menjadi penghalang serius bagi kemajuan perempuan. Norma-norma dan ekspektasi di tempat kerja seringkali tidak mendukung keseimbangan kehidupan kerja yang sehat, terutama bagi perempuan. Sistem yang sudah mapan ini perlu ditinjau ulang agar lebih inklusif.
Beberapa aspek budaya kerja yang menghambat adalah:
- Budaya lembur yang kaku masih sangat dominan di perusahaan-perusahaan Jepang. Jam kerja yang panjang dan tidak fleksibel membuat sulit bagi perempuan untuk menyeimbangkan tuntutan pekerjaan dengan tanggung jawab keluarga.
- Sistem promosi yang sangat berdasarkan senioritas cenderung menguntungkan karyawan laki-laki yang memiliki rekam jejak kerja tanpa interupsi. Perempuan yang mengambil cuti melahirkan atau cuti pengasuhan anak seringkali tertinggal dalam jenjang karier mereka.
- Insentif pajak yang menguntungkan rumah tangga dengan satu pencari nafkah. Sistem ini secara tidak langsung mendorong perempuan untuk bekerja paruh waktu atau sebagai ibu rumah tangga, bukannya mengejar karier penuh waktu.
- Data dari Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan (MHLW) tahun 2022 menunjukkan bahwa hanya 8% perusahaan yang menerapkan jam kerja fleksibel. Angka ini sangat rendah dan mengindikasikan kurangnya komitmen perusahaan terhadap lingkungan kerja yang mendukung semua karyawan, termasuk perempuan.
Wacana Perdana Menteri Perempuan Pertama: Perubahan Simbolik atau Substantif?
Belakangan ini, wacana tentang kemungkinan Jepang memiliki perdana menteri perempuan pertama telah muncul ke permukaan. Potensi ini memicu diskusi luas tentang apakah kehadiran seorang pemimpin perempuan akan menjadi titik balik signifikan atau hanya sekadar perubahan simbolis dalam sistem yang masih didominasi maskulinitas. Pertanyaan ini menjadi krusial dalam memahami arah kesetaraan gender di Jepang.