Tampang

Di Mana Kesalahan Jenderal Gatot Nurmantyo Saat Tampil di Rosi?

8 Mei 2017 15:45 wib. 5.690
0 0
Gatot Nurmantyo Sumber Kompas.com

Bisa dibilang, sejak awal November 2016, Jenderal Gatot Nurmantyo tidak pernah lepas dari kontroversi. Berkali-kali nama Panglima TNI itu menjadi judul headline berbagai media. Kali ini, Gatot kembali menuai polemik setelah tampil talk show Rosi yang ditayangkan Kompas TV pada Kamis 4 Mei 2016.

Pada program yang membincangkan artikel “Trump's Indonesian Allies in Bed with ISIS-Backed Militia Seeking to Oust Elected President” yang ditulis Allan Nairn tersebut, Gatot mengatakan upaya makar tidak akan mungkin dilakukan kelompok Islam untuk menjatuhkan pemerintahan Presiden Jokowi. Ditambahkan lagi oleh jenderal kelahiran Tegal ini, kabar soal upaya makar dalam aksi unjuk rasa bela agama itu adalah berita bohong atau hoaks untuk menakuti rakyat Indonesia.

Pernyataan Gatot inilah yang kemudian menuai kontroversi. Banyak pihak yang menganggap pernyataan mantan KSAD bertentangan dengan fakta. Bahkan, lebih dari itu, pernyataan Gatot dipandang bertentangan dengan sikap Polri yang serius menangani kasus dugaan rencana makar. 

Gegara anggapan adanya perbedaan pandangan antara Gatot Nurmantyo sebagai Panglima TNI dengan Polri, Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto berencana akan memanggil Gatot dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian (Sumber: Kompas.com).

Pertanyaannya, apa yang salah dari pernyataan Gatot dalam “Rosi” sehingga menimbulkan kontroversi? Dan, adakah perbedaan pandangan antara TNI dengan Polri dalam menyikapi kasus dugaan perencanaan makar?

Jika menyimak pernyataan Gatot dalam “Rosi” sebagaimana yang dapat disaksikan lewat Youtube, sebenarnya pernyataan Gatot soal makar sama sekali tidak bertentangan dengan tindakan Polri. Dalam video tersebut secara jelas memperlihatkan kalau Gatot mengatakan rencana makar tidak sama dengan aksi demonstrasi. Secara singkat dapat dilihat pada menit-menit akhir di mana Gatot mengatakan bahwa makar berbeda dengan aksi demo.

Pernyataan Gatot tersebut jelas sesuai dengan tindakan Polri dalam menangani aksi demonstrasi yang dimotori oleh GNPF MUI dan kasus dugaan rencana makar yang dilakukan oleh Ahmad Dhani, Adityawarman, Kivlan Zein, Sri Bintang Pamungkas, Ratna Sarumpaet, Rachmawati Soekarnoputri, dan lainnya. Dalam tindakannya, Polri pun membedakan antara aksi unjuk rasa dengan rencana makar.

Logikanya sangat sederhana, kalau Polri menganggap aksi demonstrasi, khususnya Aksi 212 sama dengan upaya makar, pastinya Polri pun sudah menangkap peserta Aksi Bela Islam. Faktanya, Polri hanya menangkap terduga pelaku makar, tetapi tidak melakukan penangkapan terhadap peserta Aksi 212. Artinya, penegasan Gatot yang mengatakan aksi makar berbeda dengan aksi demonstasi sejalan dengan tindakan Polri dalam mengungkap dugaan makar dan juga mengamankan jalannya aksi demonstrasi.

Bisa dibilang, sejak awal November 2016, Jenderal Gatot Nurmantyo tidak pernah lepas dari kontroversi. Berkali-kali nama Panglima TNI itu menjadi judul headline berbagai media. Kali ini, Gatot kembali menuai polemik setelah tampil talk show Rosi yang ditayangkan Kompas TV pada Kamis 4 Mei 2016.

Pada program yang membincangkan artikel “Trump's Indonesian Allies in Bed with ISIS-Backed Militia Seeking to Oust Elected President” yang ditulis Allan Nairn tersebut, Gatot mengatakan upaya makar tidak akan mungkin dilakukan kelompok Islam untuk menjatuhkan pemerintahan Presiden Jokowi. Ditambahkan lagi oleh jenderal kelahiran Tegal ini, kabar soal upaya makar dalam aksi unjuk rasa bela agama itu adalah berita bohong atau hoaks untuk menakuti rakyat Indonesia.

Pernyataan Gatot inilah yang kemudian menuai kontroversi. Banyak pihak yang menganggap pernyataan mantan KSAD bertentangan dengan fakta. Bahkan, lebih dari itu, pernyataan Gatot dipandang bertentangan dengan sikap Polri yang serius menangani kasus dugaan rencana makar. 

Gegara anggapan adanya perbedaan pandangan antara Gatot Nurmantyo sebagai Panglima TNI dengan Polri, Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto berencana akan memanggil Gatot dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian (Sumber: Kompas.com).

Pertanyaannya, apa yang salah dari pernyataan Gatot dalam “Rosi” sehingga menimbulkan kontroversi? Dan, adakah perbedaan pandangan antara TNI dengan Polri dalam menyikapi kasus dugaan perencanaan makar?

Jika menyimak pernyataan Gatot dalam “Rosi” sebagaimana yang dapat disaksikan lewat Youtube, sebenarnya pernyataan Gatot soal makar sama sekali tidak bertentangan dengan tindakan Polri. Dalam video tersebut secara jelas memperlihatkan kalau Gatot mengatakan rencana makar tidak sama dengan aksi demonstrasi. Secara singkat dapat dilihat pada menit-menit akhir di mana Gatot mengatakan bahwa makar berbeda dengan aksi demo.

Pernyataan Gatot tersebut jelas sesuai dengan tindakan Polri dalam menangani aksi demonstrasi yang dimotori oleh GNPF MUI dan kasus dugaan rencana makar yang dilakukan oleh Ahmad Dhani, Adityawarman, Kivlan Zein, Sri Bintang Pamungkas, Ratna Sarumpaet, Rachmawati Soekarnoputri, dan lainnya. Dalam tindakannya, Polri pun membedakan antara aksi unjuk rasa dengan rencana makar.

Logikanya sangat sederhana, kalau Polri menganggap aksi demonstrasi, khususnya Aksi 212 sama dengan upaya makar, pastinya Polri pun sudah menangkap peserta Aksi Bela Islam. Faktanya, Polri hanya menangkap terduga pelaku makar, tetapi tidak melakukan penangkapan terhadap peserta Aksi 212. Artinya, penegasan Gatot yang mengatakan aksi makar berbeda dengan aksi demonstasi sejalan dengan tindakan Polri dalam mengungkap dugaan makar dan juga mengamankan jalannya aksi demonstrasi.

Dan, hoax yang dimaksud oleh Gatot bukan kasus dugaan makar yang tengah ditangani Polri, tetapi artikel Nairn yang menyebut Gatot dan sejumlah jenderal aktif terlibat dalam rencana kudeta terhadap Presiden Jokowi. Jadi, sangat jelas,

Karenanya sangat lucu kalau Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) yang dikenal sebagai pendukung Ahok ini mengungkapkan kekecewaannya dan menuding Gatot telah mendiskreditkan POLRI, TNI dan Pers. Bukan hanya itu, TPDI yang juga diketahui sebagai pendukung Jokowi ini pun meminta agar Gatot segera mencabut pernyatannya itu karena pernyataan yang demikian dapat menjatuhkan wibawa Presiden, wibawa TNI, Polri, dan media.

Jika mengikuti media, termasuk media sosial, bukan hanya TPDI yang menuding pernyataan Gatot dalam “Rosi” bertentangan dengan sikap Polri dalam menangangi kasus dugaan makar. Menariknya, tudingan miring terhadap Gatot bukan hanya dilontarkan oleh TPDI, tetapi juga oleh sejumlah pendukung Ahok lainnya yang rerata merupakan pendukung Jokowi. Sampai-sampai ada salah seorang pendukung Ahok yang melontarkan makian yang sedemikan kasaran terhadap TNI.

Kalau disimak, sebenarnya, baik tulisan Allan Nairn yang menjadi pokok bahasan dalam Rosi sudah banyak ditulis dalam sejumlah artikel di Kompasiana, seperti yang dikumpulkan di “Benarkah Inbestigasi Allan Nairn Bersumber dari Informasi Intelijen?” Demikian juga dengan jawaban Gatot dan pengamat militer Salim Said tentang ketidakmungkinan TNI melancarkan aksi kudeta.

Menariknya, penilaian miring terhadap Gatot juga muncul setalah jenderal bintang empat itu tampil dalam Indonesia Lawyer Club yang ditayangkan TV One pada 8 November 2016 atau 4 hari setelah digelarnya Aksi 411. Pandangan miring kepada Gatot itu disebabkan kerana Panglima TNI dinilai tidak menyoroti kerusuhan kecil yang terjadi usai Aksi 411, tetapi lebih kepada ancaman besar yang sedang mengintai NKRI.

Ketika itu Gatot menguraikan tentang posisi Indonesia di tengah konflik Laut Tiongkok Selatan. Menurutnya, selain karena potensi pengembangan sumber energi, Indonesia juga menjadi incara bangsa-bangsa lain karena letak geografisitu dan luas wilayah yang dimilikinya.

Sekali lagi, apa yang salah dari pemaparan Gatot dalam ILC tersebut? Sama seperti jawaban-jawaban yang diberikannya saat tampil di Rosi,.pemaparan Gatot soal ancaman yang dihadapi Indonesia pun tidak salah. Apakah Jepang dan juga negara-negara lainnya yang terlibat dalam perang dunia menduduki Indonesia hanya karena sumber daya alamnya? Jawabannya, bukan.

Dalam “Target Tokyo: Kisah Jaringan Mata-mata Sorgi” yang diterbitkan oleh Erlangga pada 1988 dikisahkan tentang Richard Sorge yang dikirim oleh Sovyet untuk memata-matai pergerakan tentara Jepang. Dalam buku yang mengungkap kisah nyata mata-mata Sovyet/ Comintern disebutkan jika Sovyet memprediksi Jepang akan menduduki kawasan Siberia guna menguasai sumber daya alamnya.

<123>

0 Komentar

Belum ada komentar di artikel ini, jadilah yang pertama untuk memberikan komentar.

BERITA TERKAIT

BACA BERITA LAINNYA

POLLING

Apakah Indonesia Menuju Indonesia Emas atau Cemas? Dengan program pendidikan rakyat seperti sekarang.