Harga batu bara kembali mengalami lonjakan signifikan dalam sepekan terakhir. Kenaikan harga batu bara ini didorong oleh sikap dovish dari The Federal Reserve (The Fed) yang akhirnya memutuskan untuk memangkas suku bunga Amerika Serikat (AS). Hal tersebut berdasarkan data dari Refinitiv, yang melaporkan bahwa harga kontrak batu bara dunia acuan ICE Newcastle pada perdagangan Jumat (4/10/2024) melesat 4,91% di level US$149,6 per ton. Dalam sepekan harga batu bara telah mencatatkan lonjakan sebesar 3,35%.
Kenaikan harga batu bara ini juga dipicu oleh stimulus ekonomi yang dilakukan oleh China, yang merupakan konsumen batu bara terbesar di dunia. Stimulus ini dijalankan dengan menurunkan jumlah uang tunai yang harus dimiliki bank (juga dikenal sebagai rasio persyaratan cadangan atau RRR) sebesar 0,5%.
Langkah ini membebaskan likuiditas sebesar 1 triliun yuan (US$142 miliar) dan dapat diikuti oleh pemotongan 0,25-0,5% lagi akhir tahun ini. Selain itu, bank sentral China juga memangkas suku bunga acuan pada perjanjian pembelian kembali terbalik tujuh hari sebesar 20 basis poin menjadi 1,5%. Semua kebijakan tersebut bertujuan untuk meningkatkan produktivitas industri manufaktur yang sebagian besar masih mengoperasikan produksi menggunakan energi batu bara.
Namun, meskipun terjadi kenaikan harga batu bara yang signifikan, sentimen buruk dari Inggris tetap membatasi kenaikan tersebut. Inggris sendiri akan segera berhenti memproduksi listrik dari pembakaran batu bara, mengakhiri ketergantungan selama 142 tahun pada bahan bakar fosil ini. Pembangkit listrik tenaga batu bara terakhir di negara itu, yang terletak di Ratcliffe-on-Soar, akan menghentikan operasinya pada hari Senin setelah beroperasi sejak 1967.