Pada tahun 1999, Gus Dur terpilih sebagai presiden keempat Indonesia setelah jatuhnya rezim Orde Baru. Kepemimpinannya ditandai dengan berbagai kebijakan yang progresif dan inklusif. Salah satu kebijakan penting Gus Dur adalah mencabut larangan aktivitas politik bagi kelompok keturunan Tionghoa, yang telah lama mengalami diskriminasi. Ia juga mencabut larangan perayaan Imlek dan mengakui Konghucu sebagai salah satu agama resmi di Indonesia. Langkah-langkah ini menunjukkan komitmen Gus Dur terhadap prinsip kesetaraan dan toleransi.
Gus Dur juga dikenal sebagai pembela hak-hak minoritas dan kelompok terpinggirkan. Ia berupaya memperjuangkan keadilan bagi semua warga negara, tanpa memandang latar belakang agama, etnis, atau sosial. Dalam pidato-pidatonya, Gus Dur sering menekankan pentingnya persatuan dalam keberagaman, sebuah konsep yang sangat relevan di negara yang majemuk seperti Indonesia.
Kearifan Gus Dur dalam Menghadapi Konflik
Kearifan Gus Dur dalam menghadapi konflik merupakan salah satu aspek kepemimpinannya yang paling dihormati. Ia dikenal sebagai mediator yang ulung, yang mampu menjembatani perbedaan dan mencari solusi damai. Salah satu contoh paling mencolok adalah peran Gus Dur dalam meredakan ketegangan di Aceh dan Papua. Ia berusaha mendengarkan aspirasi masyarakat setempat dan mencari jalan keluar yang adil bagi semua pihak.
Pendekatan Gus Dur yang penuh kebijaksanaan dan kearifan ini banyak dipengaruhi oleh pemahamannya yang mendalam tentang budaya lokal dan nilai-nilai kemanusiaan universal. Ia percaya bahwa dialog dan musyawarah adalah kunci untuk menyelesaikan konflik, bukan kekerasan atau pemaksaan.