Sumber foto: iStock

Uber Terdesak di Amerika, Tapi Bangkit Lewat Robotaxi dan Pasar Global – Apa Strateginya?

Tanggal: 10 Mei 2025 13:38 wib.
Kondisi bisnis Uber di Amerika Serikat kian memprihatinkan. Perusahaan teknologi transportasi ini, yang dulu merajai layanan ride-hailing di berbagai negara, kini menghadapi tekanan besar di negeri asalnya. Meskipun sempat mencatat pertumbuhan pendapatan pada kuartal I tahun 2025, laju kenaikannya terus melambat pasca-pandemi. Hal ini menunjukkan bahwa tantangan yang dihadapi Uber di pasar domestik belum sepenuhnya teratasi.

Pada laporan keuangan terbarunya, Uber mencatat pendapatan sebesar US$11,53 miliar atau sekitar Rp189,9 triliun, meningkat 14% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Unit pemesanan naik sebesar 15%, sedangkan lini pengiriman mencatatkan pertumbuhan 18%. Angka ini tampak menjanjikan di permukaan, namun tidak cukup untuk menutupi perlambatan bisnis utama mereka di AS.

Meski begitu, perusahaan menyampaikan optimisme terhadap performa kuartal kedua tahun ini. Manajemen Uber memperkirakan pemesanan dan laba pada Q2 akan melampaui ekspektasi Wall Street. Prediksi ini sebagian besar didasarkan pada ekspansi agresif mereka di pasar internasional serta pertumbuhan lini pengiriman makanan dan bahan kebutuhan pokok, yang kini menjadi tulang punggung baru perusahaan.

Dalam laporan eksklusif yang dikutip dari Reuters pada Kamis (8/5/2025), CFO Uber, Prashanth Mahendra-Rajah, mengungkapkan bahwa perjalanan internasional menjadi pendorong utama pertumbuhan, sementara permintaan domestik justru mengalami penurunan. “Kami melihat peningkatan signifikan dari perjalanan internasional. Penurunan hanya terjadi pada jumlah perjalanan masuk ke Amerika Serikat,” ujarnya.

Kondisi ini menjelaskan strategi diversifikasi Uber yang kini mulai menunjukkan hasil. Di tengah stagnasi pasar AS, perusahaan gencar memperluas cakupan bisnisnya di luar negeri. Salah satu langkah strategis Uber adalah mengakuisisi 85% saham perusahaan pengiriman bernama Trendyl Go, sebuah platform pengiriman makanan dan kebutuhan rumah tangga. Akuisisi ini dilakukan dengan nilai fantastis, yakni US$700 juta atau sekitar Rp11,5 triliun.

Langkah ini menunjukkan betapa seriusnya Uber dalam memperkuat lini bisnis non-transportasi. Bisnis pengiriman kini bukan hanya sekadar pelengkap, tetapi telah menjadi motor utama yang menyelamatkan Uber dari kerugian lebih dalam. Ekspansi ini juga mencerminkan transformasi Uber dari sekadar perusahaan ride-hailing menjadi ekosistem digital yang lebih luas.

Tak hanya itu, Uber juga mulai masuk ke sektor teknologi masa depan dengan menggandeng perusahaan asal China, Pony AI, untuk mengembangkan kendaraan otonom atau robotaxi. Inisiatif ini merupakan bagian dari transformasi besar Uber dalam membentuk masa depan transportasi berbasis teknologi tanpa sopir.

Kolaborasi ini bukan yang pertama. Sebelumnya, Uber telah lebih dahulu menjalin kerja sama dengan Waymo, anak perusahaan milik Alphabet (induk Google), untuk mengoperasikan robotaxi di Austin, Texas. Layanan ini mulai diluncurkan secara bertahap pada tahun 2025 dan mencatatkan peningkatan pemanfaatan yang cukup signifikan.

Langkah Uber dalam menghadirkan robotaxi menunjukkan ambisinya dalam menghadirkan pengalaman transportasi baru yang lebih efisien, aman, dan otomatis. Menurut pihak perusahaan, proyek ini memiliki prospek cerah dan akan terus dikembangkan dalam beberapa tahun ke depan. Uber bahkan berencana meningkatkan jumlah armada kendaraan otonom secara bertahap untuk menjawab kebutuhan pasar yang mulai menunjukkan ketertarikan terhadap layanan tanpa pengemudi ini.

Sementara itu, banyak yang bertanya-tanya apakah Uber dapat mengulang kejayaannya di masa lalu, terutama setelah hengkang dari Indonesia pada tahun 2018 akibat kalah bersaing dengan Grab dan Gojek. Namun, meskipun “terusir” dari pasar Asia Tenggara, Uber tampaknya tidak menyerah dan justru mengambil pelajaran penting dari kegagalan tersebut untuk menyusun strategi baru yang lebih global dan terintegrasi.

Dari sisi pengalaman pengguna, Uber kini tidak hanya menawarkan layanan transportasi tetapi juga logistik, pengantaran makanan, bahan pokok, hingga eksperimen dengan kendaraan tanpa sopir. Ini menunjukkan pendekatan yang lebih adaptif dan futuristik. Dari sisi otoritas dan kepercayaan, Uber juga terus membangun kemitraan strategis dengan berbagai pihak untuk memperkuat posisi mereka sebagai pelaku utama di bidang teknologi transportasi global.

Di tengah ketidakpastian pasar Amerika, keberhasilan Uber di pasar internasional dan sektor robotaxi bisa menjadi game changer yang menentukan masa depan perusahaan. Apabila strategi diversifikasi ini terus membuahkan hasil, bukan tidak mungkin Uber akan bangkit lebih kuat—bukan dari AS, tetapi dari kekuatan pasar global yang selama ini dipandang sebelah mata.

Yang menarik untuk dicermati ke depan adalah bagaimana Uber menavigasi tantangan regulasi, persaingan, serta adopsi publik terhadap teknologi robotaxi. Apakah pasar siap menerima transportasi tanpa pengemudi? Dan mampukah Uber menjadi pelopor utama revolusi mobilitas global? Waktu yang akan menjawab.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved