Trump Larang Chip AI Dijual ke China, Nvidia Terancam Guncang: Strategi Baru atau Akhir Dominasi?
Tanggal: 25 Mei 2025 01:12 wib.
Dalam langkah tegas yang mengguncang dunia teknologi global, pemerintahan Donald Trump secara resmi mencabut kebijakan ekspor chip kecerdasan buatan (AI) yang sebelumnya diberlakukan oleh pemerintahan Joe Biden. Perubahan kebijakan ini membawa dampak besar terhadap hubungan dagang teknologi tinggi antara Amerika Serikat dan China, terutama dalam hal distribusi chip AI yang menjadi tulang punggung inovasi di berbagai industri.
Salah satu perusahaan yang terkena dampak paling signifikan dari keputusan ini adalah Nvidia, raksasa semikonduktor asal AS yang telah menjadikan China sebagai salah satu pasar utamanya. Chip H20, yang sebelumnya dirancang secara khusus oleh Nvidia agar dapat mematuhi regulasi ekspor AS dan tetap dijual ke pasar China, kini resmi dilarang untuk dikirimkan ke negara tersebut. Padahal, chip H20 merupakan satu-satunya produk berbasis AI dari Nvidia yang masih bisa beredar di pasar China pasca pembatasan ekspor sebelumnya.
Langkah ini menciptakan tekanan besar terhadap Nvidia. China bukan sekadar pasar biasa bagi perusahaan ini, melainkan kontributor utama terhadap pendapatan globalnya. Data menunjukkan bahwa pada tahun fiskal yang berakhir pada 26 Januari 2025, China menyumbang sekitar 13% dari total penjualan chip Nvidia. Dalam nilai nominal, penjualan Nvidia di China mencapai US$17 miliar, angka yang tidak bisa diabaikan bahkan oleh perusahaan sebesar Nvidia.
Dampak dari larangan ini tidak hanya bersifat finansial, tetapi juga strategis. Dengan tidak adanya produk yang dapat secara legal dijual ke China, Nvidia menghadapi risiko kehilangan pijakan di pasar AI terbesar kedua di dunia. Ini juga membuka peluang bagi perusahaan lokal China untuk mengambil alih pangsa pasar yang ditinggalkan Nvidia, mempercepat inisiatif semikonduktor mandiri yang selama ini telah digencarkan oleh pemerintah Tiongkok.
Menyikapi tekanan tersebut, CEO Nvidia Jensen Huang mengambil langkah diplomatik dan strategis. Ia secara terbuka menegaskan bahwa China tetap merupakan pasar yang sangat penting bagi Nvidia. Bahkan, ia melakukan kunjungan langsung ke negara tersebut tak lama setelah larangan baru diumumkan. Hal ini menunjukkan keseriusan Nvidia dalam menjaga relasi bisnisnya di kawasan Asia Timur.
Dalam berbagai kesempatan, Huang juga mengisyaratkan bahwa Nvidia sedang mengembangkan chip baru khusus untuk pasar China, namun ia menampik anggapan bahwa chip tersebut adalah versi downgrade dari Hopper H20. Ia menegaskan bahwa tidak mungkin lagi melakukan modifikasi lebih lanjut terhadap arsitektur Hopper, dan produk baru yang sedang dikembangkan akan menjadi sesuatu yang berbeda.
“[Chip yang akan dijual ke China] bukan Hopper, karena tidak mungkin lagi melakukan modifikasi lebih jauh pada Hopper,” ujar Huang sebagaimana dikutip dari laporan Reuters, Senin (19 Mei 2025).
Pernyataan ini sekaligus membantah laporan sebelumnya yang menyebut Nvidia akan menurunkan spesifikasi Hopper H20 agar bisa tetap mematuhi aturan ekspor baru. Dengan demikian, Nvidia tampaknya akan mencoba jalur baru yang sepenuhnya terpisah dari desain sebelumnya, mungkin dengan fitur dan performa yang dirancang secara khusus untuk memenuhi regulasi dan kebutuhan pasar China.
Sementara itu, Huang tak segan menyampaikan kritik terhadap kebijakan kontrol ekspor chip AI yang diberlakukan pemerintah AS. Ia menyebutkan bahwa langkah-langkah pembatasan ini merupakan “kesalahan besar” karena dapat menghambat dominasi teknologi AS di panggung global. Menurutnya, alih-alih melakukan pembatasan, pemerintah seharusnya mendorong penetrasi global dari teknologi AS agar tetap memimpin di era persaingan digital yang semakin ketat.
"Kita seharusnya memaksimalkan potensi teknologi kita untuk menjangkau pasar dunia, bukan malah membatasinya," tegas Huang.
Pernyataan tersebut menyiratkan adanya ketegangan antara sektor swasta dan kebijakan luar negeri pemerintah AS, terutama ketika menyangkut penguasaan teknologi tinggi seperti AI dan semikonduktor. Di satu sisi, pembatasan ekspor chip ke China dianggap sebagai upaya strategis untuk menjaga keunggulan geopolitik AS. Namun di sisi lain, pelaku industri seperti Nvidia menganggap kebijakan ini sebagai hambatan serius terhadap pertumbuhan dan daya saing global mereka.
Saat ini, masa depan Nvidia di pasar China menjadi tanda tanya besar. Akankah mereka berhasil menciptakan chip baru yang sesuai dengan regulasi tanpa mengorbankan performa? Ataukah mereka akan kehilangan peluang besar yang bisa dimanfaatkan oleh pesaing seperti Huawei atau SMIC?
Yang pasti, dinamika ini menunjukkan bahwa perang teknologi antara AS dan China terus berlangsung, dan chip AI berada di garis depan konflik ini. Keputusan Trump tidak hanya mengubah lanskap ekspor semikonduktor, tetapi juga bisa menggoyahkan keseimbangan pasar teknologi global jika perusahaan seperti Nvidia tidak segera menemukan strategi baru yang efektif.