Tragis Byju: Dari Startup Miliaran Dolar hingga Kehancuran Total
Tanggal: 27 Jan 2025 14:54 wib.
Tampang.com | Dalam dunia bisnis, setiap perusahaan, termasuk startup dengan potensi besar, tidak pernah lepas dari risiko. Salah satu contoh terbaru yang mencengangkan datang dari Byju, startup pendidikan asal India yang sempat bernilai hingga USD 22 miliar (setara Rp 344 triliun). Sayangnya, kesalahan strategi membawa perusahaan ini ke jurang kebangkrutan, meninggalkan ribuan karyawan dalam ketidakpastian.
Gaji Karyawan yang Tertunda hingga Berbulan-bulan
Byju, yang dikenal luas di Asia Selatan dan Timur Tengah sebagai salah satu startup teknologi pendidikan terkemuka, kini menjadi sorotan karena masalah operasional dan keuangan. Para pegawai, yang sebelumnya mendapat gaji rutin, kini menghadapi kenyataan pahit. Berdasarkan laporan Reuters, pengajar di platform tersebut telah berbulan-bulan tidak menerima pembayaran.
Salah satu pengajar matematika di Byju, Sukirti Mishra, berbagi pengalamannya. Dalam panggilan konferensi video yang dihadiri Reuters, Mishra mengungkapkan bahwa dia telah berhenti mengajar karena merasa sia-sia bekerja tanpa bayaran. Sebelumnya, Mishra menerima gaji sekitar USD 1.200 per bulan. Namun, akibat krisis finansial perusahaan, dia kini harus menghadapi kritik dari siswa yang kecewa karena tidak lagi menerima kelas.
Selain itu, sekitar 27.000 karyawan Byju telah melaporkan bahwa mereka tidak menerima gaji selama tiga bulan terakhir. Sebagian dari mereka bahkan berencana untuk turun ke jalan atau mengajukan gugatan terhadap perusahaan. Tidak berhenti di situ, 280 pegawai lainnya telah melaporkan kasus ini kepada pemerintah karena perusahaan tidak membayarkan pajak yang sudah dipotong dari gaji mereka.
Janji CEO yang Belum Terpenuhi
Pendiri sekaligus CEO Byju, Byju Raveendran, mencoba menenangkan para karyawannya. Dalam pernyataannya, ia berjanji bahwa gaji akan segera dibayarkan setelah perusahaan kembali berada di bawah kendalinya. Namun, kenyataannya, Byju saat ini dikendalikan oleh petugas yang ditunjuk pengadilan, karena perusahaan sudah memasuki tahap likuidasi. Proses ini mirip dengan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di Indonesia.
Sayangnya, proses likuidasi seringkali memakan waktu lama dan tidak menjamin hak karyawan terpenuhi sepenuhnya sebelum utang perusahaan dilunasi. Situasi ini semakin mempersulit para pegawai yang sudah lama menanti kejelasan nasib mereka.
Investasi yang Kehilangan Nilainya
Kejatuhan Byju tidak hanya berdampak pada karyawannya, tetapi juga pada para investor. Salah satu investor besar, Prosus, yang memiliki 9,6% saham Byju, mencatatkan nilai investasinya menjadi nol dalam laporan kuartalan mereka. Sebelumnya, saham Prosus di Byju pernah mencapai nilai USD 2,1 miliar (setara Rp 34 triliun).
Penurunan drastis ini disebabkan oleh berbagai masalah tata kelola yang melibatkan manajemen Byju. Misalnya, laporan keuangan perusahaan terus-menerus ditunda rilisnya. Ketika akhirnya laporan tersebut dipublikasikan, pendapatan yang dilaporkan jauh di bawah proyeksi awal. Hal ini menimbulkan kecurigaan investor bahwa Byju tidak transparan dalam pengelolaan keuangan.
Selain itu, Byju juga dituduh membohongi pemegang saham terkait penggalangan dana sebesar USD 200 juta yang diumumkan tahun ini. Akibatnya, banyak investor yang kehilangan kepercayaan, termasuk Prosus, yang menarik perwakilannya dari dewan komisaris.
Dampak Besar pada Dunia Startup
Kisah tragis Byju adalah pelajaran besar bagi dunia startup. Bahkan perusahaan yang digadang-gadang memiliki masa depan cerah sekalipun bisa mengalami kejatuhan jika tidak dikelola dengan baik. Kombinasi antara tata kelola yang buruk, kurangnya transparansi, dan keputusan keuangan yang salah dapat membawa dampak buruk bagi semua pihak, mulai dari karyawan hingga investor.
Di sisi lain, krisis yang dialami Byju juga menjadi pengingat bahwa valuasi besar bukanlah jaminan kesuksesan jangka panjang. Startup harus mampu menjaga keseimbangan antara pertumbuhan yang cepat dengan pengelolaan keuangan yang stabil dan transparan.