TikTok Terjepit Dua Negara: Apa yang Sebenarnya Ingin Dilindungi China dari Amerika?
Tanggal: 13 Apr 2025 14:07 wib.
Di tengah ketegangan geopolitik yang semakin memanas, aplikasi video pendek populer TikTok kembali menjadi pusat perhatian dunia. Bukan karena tren viral atau fitur baru, melainkan karena tarik-ulur kepemilikan antara Amerika Serikat dan China yang makin rumit. Pemerintah China baru saja menegaskan bahwa segala bentuk kesepakatan terkait TikTok harus sepenuhnya tunduk pada hukum yang berlaku di negaranya.
Pernyataan ini muncul setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump memutuskan untuk memperpanjang batas waktu penjualan aset TikTok di wilayah AS selama 75 hari. Langkah ini menandakan bahwa proses pemisahan aset yang sebelumnya direncanakan belum menemukan titik temu, terutama karena faktor politik antarnegara.
Perang Teknologi Berkedok Regulasi?
Latar belakang kebuntuan ini tak bisa dilepaskan dari ketegangan politik dan ekonomi antara Washington dan Beijing. Beberapa sumber menyebutkan bahwa salah satu alasan utama terhambatnya kesepakatan ini adalah pengumuman tarif impor baru oleh Trump, di mana barang-barang asal China kini dikenakan tarif setinggi 125%.
China dengan sigap menyuarakan sikapnya. Melalui juru bicara Kementerian Perdagangan, Beijing menyampaikan penolakan terhadap praktik-praktik yang dianggap melanggar prinsip pasar bebas, termasuk pemaksaan penjualan paksa dan tindakan yang bisa merugikan kepentingan perusahaan asal China.
Dalam pernyataan resminya yang dirilis pada Kamis (10/4/2025), China menyebut bahwa urusan bisnis seperti penjualan TikTok harus tetap mengikuti kerangka hukum nasional, terutama yang berkaitan dengan ekspor teknologi. Artinya, meskipun perusahaan ingin menjual asetnya di Amerika, ada batasan-batasan ketat yang tak bisa diabaikan begitu saja.
Yang Diperebutkan: Bukan Sekadar Aplikasi, Tapi Algoritma
Yang membuat konflik ini menjadi semakin pelik adalah algoritma canggih milik TikTok, yang menjadi jantung dari operasional dan daya tarik aplikasinya. China menilai bahwa algoritma ini termasuk dalam kategori teknologi strategis yang tidak bisa diperjualbelikan begitu saja, apalagi ke negara lain, tanpa persetujuan resmi dari otoritas ekspor teknologi China.
Regulasi yang dimaksud telah diberlakukan sejak tahun 2020, di mana pemerintah China mengatur secara ketat ekspor teknologi kecerdasan buatan (AI), termasuk algoritma yang digunakan untuk rekomendasi konten—persis seperti yang diterapkan oleh TikTok.
Inilah alasan utama mengapa pemerintah China tidak serta-merta menyetujui penjualan TikTok ke entitas manapun di Amerika. Mereka ingin memastikan bahwa komponen paling penting dari TikTok, yaitu algoritmanya, tidak jatuh ke tangan asing, terutama dalam konteks rivalitas teknologi global yang semakin tajam.
AS Tak Mau Kalah, China Tak Mau Mengalah
Di sisi lain, pemerintah AS bersikeras bahwa kepemilikan TikTok oleh perusahaan China, yaitu ByteDance, menghadirkan ancaman keamanan nasional, khususnya dalam hal perlindungan data pengguna Amerika. Otoritas AS menuding bahwa data pengguna bisa saja disalahgunakan oleh pemerintah China, meskipun tuduhan ini berkali-kali dibantah oleh pihak ByteDance maupun TikTok.
Langkah Trump memperpanjang batas waktu ini diyakini sebagai cara untuk memberikan ruang negosiasi lebih lanjut, sembari menekan ByteDance agar tunduk pada tuntutan Washington. Namun, pernyataan tegas dari Beijing menunjukkan bahwa China tidak akan menyerahkan begitu saja kendali atas aset teknologi strategis mereka.
Siapa yang Sebenarnya Akan Menang?
Situasi ini memperlihatkan bahwa perang dagang dan teknologi antara dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia tidak menunjukkan tanda-tanda mereda. Justru kini merambah ke wilayah yang jauh lebih sensitif: kedaulatan teknologi dan kepemilikan data.
Bagi China, mempertahankan kontrol atas TikTok dan algoritmanya adalah simbol dari kedaulatan digital dan perlindungan terhadap inovasi dalam negeri. Sementara bagi AS, kepemilikan asing atas platform yang digunakan oleh jutaan warganya dinilai sebagai potensi ancaman keamanan yang tidak bisa diabaikan.
Meski terlihat seperti konflik bisnis, sebenarnya ini adalah panggung tarik-menarik antara ideologi, kekuatan politik, dan kepentingan strategis dua negara adidaya.
Apa yang Bisa Terjadi Selanjutnya?
Dengan tenggat waktu 75 hari yang terus berdetak, pertanyaan besar kini mengarah pada: akankah ByteDance memutuskan untuk menjual TikTok di bawah tekanan AS? Jika ya, apakah algoritma canggihnya akan tetap dipertahankan di China? Dan bagaimana reaksi pemerintah jika ternyata kesepakatan melanggar regulasi ekspor?
Atau, bisa jadi skenario lain yang muncul adalah pemblokiran penuh TikTok di Amerika Serikat, sesuatu yang sebelumnya juga sempat menjadi wacana saat ketegangan memuncak pada tahun-tahun sebelumnya.
Yang pasti, nasib TikTok kini bukan hanya ditentukan oleh strategi bisnis semata, tetapi oleh keputusan tingkat tinggi dari pemerintahan kedua negara. Dan bagi para pengguna, mungkin mereka tak sadar bahwa aplikasi yang mereka buka setiap hari kini berada di tengah pusaran konflik global.