TikTok Terancam Diblokir di AS: Apakah Trump Sukses Selamatkan Aplikasi Favorit Gen Z?
Tanggal: 12 Apr 2025 13:54 wib.
Tampang.com | Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali menghidupkan wacana penjualan TikTok di tengah tensi tinggi perang dagang antara Amerika dan China yang semakin memanas. Aplikasi video pendek yang sangat populer di kalangan anak muda itu kini berada dalam pusaran tarik ulur antara kepentingan ekonomi, keamanan nasional, dan politik global.
TikTok merupakan anak usaha dari ByteDance, sebuah perusahaan teknologi asal China. Pada awal 2024, Kongres AS, dengan dukungan penuh dari Presiden Joe Biden saat itu, mengesahkan undang-undang baru yang mengharuskan ByteDance untuk melepaskan kepemilikan mayoritasnya atas TikTok jika ingin terus beroperasi di Amerika Serikat. Jika syarat ini tidak dipenuhi, maka TikTok terancam diblokir dari pasar AS.
Namun, saat Donald Trump kembali menduduki jabatan presiden menggantikan Biden, ia memilih untuk memperpanjang batas waktu penjualan TikTok yang sebelumnya telah ditetapkan. Semula, penjualan harus tuntas pada akhir Januari 2025, tetapi kini diperpanjang hingga 19 Juni 2025, memberi napas tambahan bagi para pemangku kepentingan.
Trump menyatakan bahwa masih ada peluang besar untuk menyelamatkan TikTok melalui penjualan kepada perusahaan berbasis di Amerika. Ia menyebutkan bahwa sudah ada beberapa proposal dari perusahaan besar yang siap membeli TikTok agar tetap bisa beroperasi di AS tanpa melanggar regulasi yang berlaku.
"Kami sedang dalam proses menjalin kesepakatan dengan beberapa perusahaan hebat, orang-orang kaya yang bisa menjalankan TikTok dengan baik," ujar Trump dari Gedung Putih. "Namun, kita masih harus melihat apa tanggapan dari pihak China."
Pernyataan Trump tersebut seolah menegaskan bahwa negosiasi yang sedang berjalan bukan hanya antara ByteDance dan para investor AS, tetapi juga melibatkan pertimbangan strategis dari pemerintah China.
Meski wacana ini membuka harapan baru, tidak sedikit pihak yang melontarkan kritik. Dua senator dari Partai Demokrat, Mark Warner dan Ed Market, menilai Trump telah menyalahgunakan wewenangnya karena tidak memiliki dasar hukum untuk memperpanjang batas waktu penjualan tersebut. Mereka menuding bahwa kesepakatan yang sedang diupayakan berpotensi ilegal karena melanggar prinsip antimonopoli dan keamanan nasional.
Selain itu, Senator Tom Cotton juga memberikan peringatan kepada para investor Amerika yang ingin membeli TikTok. Menurutnya, para investor tersebut harus sepenuhnya melepaskan segala hubungan dengan entitas asal China agar tidak menimbulkan konflik kepentingan dan tetap menjaga keamanan data pengguna AS.
Di sisi lain, pihak China pun diperkirakan tidak akan begitu saja menyetujui proses penjualan TikTok ke perusahaan asing. Seorang sumber yang dekat dengan investor ByteDance mengatakan kepada Reuters bahwa pemerintah Beijing akan menahan persetujuan apapun hingga sengketa tarif dagang antara kedua negara diselesaikan terlebih dahulu.
ByteDance sendiri diyakini tidak ingin melepaskan TikTok secara penuh. TikTok merupakan aset digital yang sangat bernilai, dengan basis pengguna mencapai lebih dari 170 juta di Amerika Serikat saja. Melepas kepemilikan mayoritas bisa berarti kehilangan kendali atas strategi bisnis, algoritma, serta potensi pendapatan jangka panjang dari iklan dan konten.
Rencana yang digaungkan Trump adalah menjadikan TikTok sebagai perusahaan baru berbasis di Amerika yang sahamnya dimiliki mayoritas oleh investor AS. Dengan begitu, kepemilikan ByteDance akan dikurangi secara signifikan dan bisa memenuhi ketentuan regulasi AS. Namun langkah ini jelas tidak akan semulus yang dibayangkan. Persetujuan dari pemerintah China serta kecocokan harga antara pembeli dan pemilik lama menjadi dua tantangan besar yang harus diselesaikan.
Bagi banyak pihak, TikTok bukan sekadar aplikasi hiburan. Aplikasi ini telah menjadi platform ekonomi digital yang menghidupi jutaan kreator konten, bisnis kecil, dan bahkan kampanye sosial serta politik. Oleh karena itu, ketidakpastian masa depan TikTok di AS bisa berdampak luas, mulai dari pemilik usaha kecil, influencer muda, hingga perusahaan pemasaran digital.
Pertarungan soal TikTok sejatinya mencerminkan kompleksitas hubungan ekonomi-politik antara dua negara adidaya. TikTok menjadi semacam pion dalam catur kekuasaan global, di mana isu kedaulatan data, keamanan siber, dan dominasi teknologi menjadi taruhan utama.
Apakah TikTok akan benar-benar berpindah tangan dan tetap eksis di Amerika Serikat? Ataukah aplikasi ini harus mengucapkan selamat tinggal kepada pasar yang selama ini menjadi lumbung emasnya?
Segala kemungkinan masih terbuka lebar. Satu hal yang pasti, waktu terus berjalan menuju tenggat 19 Juni 2025. Dunia kini menanti apakah Trump mampu menyulap drama politik ini menjadi solusi win-win bagi semua pihak, atau justru memperburuk keretakan diplomasi antara Amerika dan China.