TikTok Menghadapi Risiko Penutupan di AS, Apa yang Akan Terjadi Selanjutnya?
Tanggal: 19 Jan 2025 20:29 wib.
TikTok, aplikasi video pendek yang sangat populer di seluruh dunia, kini menghadapi ancaman serius di Amerika Serikat setelah Mahkamah Agung mengesahkan sebuah undang-undang yang melarang perusahaan induknya, ByteDance asal China, untuk mempertahankan kepemilikan atas platform ini.
Pada tanggal 17 Januari 2025, TikTok mengeluarkan pernyataan yang memperingatkan bahwa layanan mereka akan dihentikan pada 19 Januari 2025, jika Pemerintah AS, khususnya Presiden Joe Biden, tidak memberikan jaminan kepada perusahaan-perusahaan seperti Apple dan Google agar mereka tidak dikenakan sanksi hukum karena masih menyediakan TikTok di platform mereka.
Keputusan Mahkamah Agung ini sangat signifikan karena dengan dukungan sembilan hakim, mereka menegaskan bahwa TikTok bisa dilarang di AS dengan alasan masalah keamanan nasional. Pemerintah AS khawatir bahwa data yang dikumpulkan TikTok bisa digunakan oleh China untuk tujuan spionase, perekrutan, atau bahkan pelecehan terhadap warga negara Amerika. TikTok, yang memiliki lebih dari 170 juta pengguna di AS, kini terjebak dalam ketidakpastian.
TikTok mengatakan, "Jika Pemerintahan Biden tidak segera memberikan pernyataan yang menjamin tidak ada penegakan hukum terhadap penyedia layanan utama seperti Apple dan Google, maka sayangnya kami akan terpaksa menutup layanan kami di AS pada 19 Januari." Meskipun begitu, Gedung Putih menolak memberikan komentar lebih lanjut mengenai situasi ini.
Undang-undang yang disahkan ini memiliki implikasi besar tidak hanya untuk TikTok tetapi juga untuk perusahaan besar lainnya seperti Apple dan Google, yang akan berisiko mendapatkan denda besar jika mereka tetap mendukung TikTok setelah larangan diberlakukan. Kongres AS telah menyetujui undang-undang ini dengan dukungan bipartisan, dan Presiden Biden telah menandatanganinya menjadi undang-undang. Namun, seiring berjalannya waktu, beberapa anggota parlemen mulai mempertimbangkan upaya untuk menjaga agar TikTok tetap dapat beroperasi di AS.
TikTok dan ByteDance menentang undang-undang ini, namun Mahkamah Agung menyatakan bahwa undang-undang tersebut tidak melanggar Amandemen Pertama Konstitusi AS, yang melindungi kebebasan berbicara, dan menegaskan bahwa platform seperti TikTok bisa dikenakan pembatasan demi alasan keamanan nasional. Dalam pernyataan Mahkamah Agung, dikatakan bahwa "skala TikTok dan kerentanannya terhadap kendali musuh asing, bersama dengan banyaknya data sensitif yang dikumpulkan platform ini, membenarkan perlakuan yang berbeda untuk mengatasi masalah keamanan nasional pemerintah."
Selama bertahun-tahun, kepemilikan TikTok oleh China memang telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan pemimpin AS, terlebih lagi pada saat ketegangan perdagangan antara dua ekonomi terbesar dunia, yaitu AS dan China, semakin meningkat. Pemerintah AS berpendapat bahwa TikTok bisa digunakan oleh China untuk mengakses data pribadi jutaan warga AS, yang kemudian bisa dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang merugikan negara tersebut.
Di sisi lain, TikTok telah menjadi salah satu platform media sosial paling terkenal di AS, terutama di kalangan anak muda. Banyak dari mereka yang menggunakan TikTok untuk membuat video pendek yang menghibur, sekaligus memanfaatkan platform ini untuk berbagai tujuan bisnis, terutama untuk usaha kecil. Salah seorang pengguna TikTok, Lourd Asprec, yang memiliki 16,3 juta pengikut dan menghasilkan sekitar US$80.000 per tahun dari platform ini, mengungkapkan kekesalannya terhadap ancaman larangan tersebut. "Saya bahkan tidak peduli dengan pencurian data saya oleh China. Mereka bisa mengambil semua data saya. Jika perlu, saya akan pergi ke China sendiri dan memberikannya kepada mereka," ujar Lourd.
Dengan ancaman penutupan yang semakin dekat, beberapa pengguna mulai mencari alternatif lain seperti RedNote, meskipun aplikasi ini masih menggunakan bahasa Mandarin yang membuatnya sulit digunakan bagi sebagian orang.
Di tengah ketidakpastian ini, nasib TikTok kini berada di tangan Presiden terpilih Donald Trump, yang mengisyaratkan akan mempertimbangkan langkah-langkah untuk mempertahankan keberadaan TikTok di AS. Trump sebelumnya juga mencoba melarang TikTok pada tahun 2020, namun upayanya gagal.
Pemerintah AS, melalui Gedung Putih, telah menegaskan bahwa TikTok bisa tetap beroperasi di AS jika perusahaan tersebut melepaskan kendali dari China. Pada tanggal 17 Januari, Gedung Putih menyatakan bahwa Presiden Biden tidak akan mengambil tindakan apa pun untuk menyelamatkan TikTok. Biden bahkan belum mengajukan penundaan 90 hari yang diizinkan oleh hukum untuk memberikan kesempatan lebih banyak bagi platform ini untuk beradaptasi.
Undang-undang yang diberlakukan ini tidak hanya melarang TikTok tetapi juga aplikasi lain yang dikuasai oleh negara yang dianggap sebagai "musuh asing." Termasuk di dalamnya adalah larangan untuk menawarkan aplikasi ini melalui toko aplikasi seperti Apple dan Google. Seiring dengan ini, Google dan Apple tidak memberikan komentar mengenai masalah ini, sementara Oracle, salah satu perusahaan teknologi besar, juga tidak memberikan tanggapan.
Situasi ini tentunya membuat banyak orang bertanya-tanya mengenai masa depan TikTok di AS. Akankah TikTok dapat bertahan ataukah platform ini akan benar-benar ditutup di AS? Hanya waktu yang akan menjawab.