Tesla Terpuruk di China: Elon Musk Terhimpit Regulasi & Geopolitik
Tanggal: 14 Mar 2025 21:45 wib.
Kondisi Tesla di China saat ini semakin memprihatinkan. Raksasa mobil listrik yang dikelola oleh Elon Musk terjebak dalam berbagai pembatasan dan regulasi yang makin ketat baik dari pemerintah Beijing maupun Amerika Serikat (AS). Salah satu masalah utama yang dihadapi Tesla adalah pembatasan data yang sangat ketat. Hal ini membuat perusahaan kesulitan dalam menghadirkan fitur autopilot dan Full Self Driving (FSD) di pasar China.
Regulasi yang ada di AS juga mengharuskan Tesla untuk menyimpan semua data secara lokal. Jika perusahaan ingin mengirimkan data ke luar negeri, mereka harus mendapatkan izin terlebih dahulu. Tak hanya itu, pemerintah AS juga melarang Tesla untuk melatih perangkat lunak kecerdasan buatan (AI) mereka di China, berpotensi memperlambat inovasi dan pengembangan teknologi mereka.
Di tengah kompleksitas geopolitik yang menciptakan ketidakpastian bagi perusahaan asing di China, Tesla mencoba merespons dengan cara yang inovatif. Baru-baru ini, mereka dilaporkan menjalin kerjasama strategis dengan Baidu, salah satu raksasa teknologi terbesar di China. Dua sumber yang dekat dengan situasi ini mengungkapkan, tujuan dari kerja sama ini adalah untuk meningkatkan kinerja sistem bantuan mengemudi canggih atau Advanced Driving Assistance System (ADAS). Melalui kolaborasi ini, diharapkan kinerja FSD Tesla dapat mengalami lonjakan signifikan. Informasi ini dilansir oleh Reuters pada tanggal 14 Maret 2025.
Dalam situasi ini, Baidu berperan aktif dengan mengirimkan sejumlah engineer ke kantor Tesla yang ada di Beijing. Meskipun jumlah pastinya tidak diketahui, kehadiran engineer Baidu di kantor Tesla selama beberapa minggu terakhir menunjukkan keseriusan dua perusahaan ini dalam meningkatkan teknologi. Mereka bekerja sama untuk mengintegrasikan data peta navigasi milik Baidu sehingga mobil Tesla dapat lebih memahami kondisi jalan di China dengan lebih akurat. Misalnya, fitur seperti marka jalur dan lampu lalu lintas yang terpasang di FSD versi 13 milik Tesla perlu diperbarui dengan informasi lokal agar dapat berfungsi dengan baik.
Namun, ada laporan yang menyebutkan bahwa FSD versi 13 belum mendapatkan cukup pelatihan untuk dapat beroperasi dengan baik di jalanan China. Hal ini menyebabkan banyak pengemudi Tesla terlibat dalam pelanggaran lalu lintas, seperti berpindah jalur secara tidak sah atau menerobos lampu merah. Kejadian ini jelas menunjukkan betapa pentingnya kolaborasi antara Tesla dan Baidu untuk menambah kualitas pengalaman pengguna di pasar China.
Sementara itu, bukan hanya Tesla yang berharap mendapatkan manfaat dari kolaborasi ini. Dikutip dari Reuters, Baidu juga berupaya meningkatkan kemampuan AI mereka, terutama karena dalam beberapa tahun terakhir mereka dinilai tertinggal dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan teknologi besar asal China lainnya, seperti DeepSeek dan Alibaba. Kerjasama dengan Tesla diharapkan dapat mempercepat pengembangan teknologi AI Baidu dan meningkatkan daya saing mereka di industri mobil pintar.
Di sisi lain, situasi Tesla di Amerika Serikat juga tak kalah memusingkan. Gerakan boikot terhadap perusahaan ini semakin menguat di kalangan masyarakat. Banyak pemilik Tesla mulai mengekspresikan ketidakpuasan mereka dengan memasang stiker-stiker di mobil yang menunjukkan bahwa mereka tidak lagi bangga membeli produk Tesla. Penjualan mobil listrik ini pun mengalami penurunan signifikan, yang membuat harga jual kendaraan Tesla merosot. Banyak pengguna merasa 'terjebak' dengan harga yang sudah turun, sehingga mereka rugi jika mencoba menjual kembali mobil mereka.
Tidak hanya itu, saham Tesla juga mengalami penurunan yang cukup dramatis akibat sentimen negatif terhadap Elon Musk dan sikap politik yang ia ambil. Ancaman perang tarif yang disampaikan oleh mantan Presiden Donald Trump juga semakin memperburuk situasi di pasar saham Tesla. Dalam situasi yang memanas ini, Trump memberikan dukungan terhadap Tesla dengan menyatakan bahwa ia berencana untuk membeli mobil baru dari perusahaan tersebut. Ia bahkan menyalahkan segelintir individu dengan ideologi liberal yang dianggapnya sebagai penggugat aksi boikot tersebut.
Trump menegaskan bahwa aksi-aksi protes ini, termasuk boikot, adalah tindakan yang ilegal, dan mengatakan bahwa penyerangan terhadap dealer Tesla harus dianggap sebagai tindakan terorisme lokal. Ia berujar bahwa tindakan tersebut membahayakan perusahaan-perusahaan Amerika yang memiliki reputasi baik. Dukungan semacam ini tentu bisa memberikan sedikit angin segar bagi Tesla di tengah serangan gerakan anti-Musk.
Rencana kampanye boikot besar-besaran ini semakin nampak di dealer-dealer Tesla, di mana banyak pemilik mobil mulai menjual kendaraan mereka, dan aktivis mendorong orang-orang untuk menjual saham Tesla. Beberapa mobil Tesla bahkan ditemukan di tempat sampah dengan grafiti anti-Musk dan tulisan berisi ungkapan ketidakpuasan yang semakin menonjol.
Namun, meskipun Trump mendalami pendapat bahwa boikot itu ilegal, hal tersebut sulit diterima, mengingat Mahkamah Agung AS pernah memutuskan bahwa Amandemen Pertama konstitusi AS melindungi hak warga negara untuk melakukan protes terhadap bisnis swasta. Kelompok gerakan 'Tesla Takedown', yang telah mengorganisir protes anti-Tesla di berbagai belahan negeri, menegaskan hak mereka untuk melakukan demonstrasi secara damai di depan dealer-dealer Tesla.
Situasi yang dihadapi Tesla di China dan AS mencerminkan tantangan yang semakin kompleks dalam industri mobil listrik di era modern, di mana peran teknologi, regulasi dan opini publik saling memengaruhi satu sama lain dengan cara yang tak terduga. Adanya kerja sama dengan Baidu di satu sisi dan gerakan boikot di sisi lain menunjukkan bahwa Tesla tetap berusaha beradaptasi menghadapi tantangan di dua pasar yang berbeda dengan dinamika yang unik.