Tesla Kalah Telak di Inggris: Merek China Tak Terkenal Kini Unggul, Ada Apa dengan Elon Musk?
Tanggal: 7 Mei 2025 20:46 wib.
Tampang.com | Tesla, raksasa mobil listrik global milik Elon Musk, kini sedang menghadapi masa-masa sulit di pasar Eropa, khususnya Inggris. Aksi boikot yang meluas terhadap perusahaan ini berimbas langsung pada performa penjualannya yang anjlok drastis. Bahkan yang lebih mengejutkan, Tesla kini tak hanya dikalahkan oleh rival lamanya seperti BYD, tetapi juga oleh dua merek asal Tiongkok yang sebelumnya tak dikenal luas: Jaecoo dan Omoda.
Menurut laporan dari Business Insider yang mengutip data dari lembaga perdagangan SMMT, sepanjang April 2025 Tesla hanya mampu menjual 512 unit mobil di Inggris. Angka tersebut menunjukkan penurunan signifikan dari bulan sebelumnya, yakni April 2025, ketika perusahaan masih mampu menjual 1.300 unit kendaraan. Penurunan drastis ini tak bisa dipisahkan dari sentimen negatif publik terhadap Elon Musk, khususnya karena pandangan politiknya yang kontroversial.
Masyarakat Inggris kini berbondong-bondong memilih mobil dari produsen asal Tiongkok. Contohnya, BYD, kompetitor utama Tesla, mencatat penjualan sebanyak 2.511 unit, mengalami lonjakan penjualan sebesar 650% dibandingkan tahun sebelumnya. Tapi yang lebih mencengangkan, dua pemain baru asal Tiongkok—Jaecoo dan Omoda, yang baru saja memasuki pasar Inggris tahun lalu, kini berhasil mengalahkan Tesla dalam hal volume penjualan.
Jaecoo menjual 1.053 unit, sementara Omoda mencatatkan 910 unit mobil yang terjual dalam periode yang sama. Kedua merek ini dimiliki oleh grup otomotif besar asal Tiongkok, Chery, dan menawarkan portofolio produk yang cukup variatif, mulai dari kendaraan full electric, hybrid, hingga model berbahan bakar konvensional. Strategi ini tampaknya lebih fleksibel dibandingkan Tesla yang hanya menawarkan mobil listrik murni.
Kenyataan bahwa dua merek baru yang bahkan belum terkenal berhasil menyalip Tesla di pasar yang sebelumnya dikuasainya, mencerminkan krisis serius yang sedang dialami perusahaan tersebut. Eropa, yang merupakan pasar ketiga terbesar bagi Tesla, kini menjadi batu sandungan besar. Jika dominasi Tesla di kawasan ini terus melemah, maka dampaknya akan terasa pada keseluruhan kinerja global perusahaan.
Penurunan ini tak hanya terlihat dari sisi penjualan, tetapi juga dari harga saham Tesla. Pada perdagangan awal Selasa (6/5/2025) waktu setempat, saham Tesla anjlok 2,7%, dan sepanjang tahun 2025 sudah mengalami penurunan hingga 28%. Sebuah angka yang mencerminkan kehilangan kepercayaan investor terhadap arah bisnis Tesla.
Mengapa publik Eropa begitu kecewa terhadap Elon Musk dan Tesla? Salah satu pemicunya adalah sikap Musk yang terbuka mendukung partai politik sayap kanan ekstrem di Jerman, AfD, serta kedekatannya dengan pemerintahan Trump selama masa Pilpres AS 2024. Dukungan ini tidak disukai oleh sebagian besar masyarakat Eropa yang cenderung liberal dan menolak ekstremisme. Alhasil, muncul gelombang boikot terhadap Tesla yang bukan hanya terjadi di ranah digital, tetapi juga merambah ke dunia nyata.
Insiden perusakan showroom dan mobil Tesla di jalanan sempat mencuat beberapa waktu lalu. Bahkan, sebuah dealer Tesla di Roma terbakar pada 31 Maret 2025 dan sedang dalam penyelidikan aparat kepolisian. Situasi ini membuat citra Tesla semakin memburuk di mata publik Eropa.
Tak hanya itu, di tengah berbagai tekanan tersebut, Tesla juga harus bersaing dengan merek lokal seperti Volkswagen, dan semakin kuatnya penetrasi merek-merek Tiongkok di pasar Eropa. Kombinasi faktor politik, reputasi CEO, dan ketatnya persaingan membuat posisi Tesla kian terjepit.
Menyadari penurunan minat terhadap produknya, Tesla kini mencoba strategi pemasaran baru untuk menggoda calon pembeli di Inggris. Perusahaan menawarkan pengisian daya gratis selama dua tahun di jaringan Supercharging miliknya bagi konsumen yang membeli Model Y. Langkah ini diharapkan dapat menjadi daya tarik tambahan di tengah gelombang boikot dan tekanan kompetitor.
Namun, belum bisa dipastikan apakah upaya ini akan cukup efektif mengembalikan kepercayaan konsumen Inggris. Di satu sisi, insentif tersebut memang menarik, tetapi di sisi lain, citra merek Tesla saat ini tengah berada dalam titik terendah di kawasan tersebut. Konsumen semakin sensitif terhadap nilai dan sikap sosial dari perusahaan, dan Tesla kini menjadi contoh nyata bagaimana opini publik bisa menggerus dominasi bisnis dalam waktu singkat.
Kejadian ini sekaligus menjadi peringatan bagi perusahaan global lainnya. Dalam dunia yang semakin terhubung secara digital dan sosial, reputasi CEO bisa berdampak langsung terhadap performa bisnis. Apalagi jika pasar yang dituju sangat peka terhadap isu politik dan sosial, seperti yang terjadi di Eropa.
Tesla kini berada di persimpangan jalan penting. Jika tidak segera melakukan reposisi strategi, baik dari sisi produk maupun citra perusahaan, maka ancaman kehilangan pasar Eropa secara permanen menjadi nyata. Bagi Elon Musk, ini bukan lagi sekadar persoalan persaingan teknologi, tetapi pertarungan kepercayaan dan nilai yang jauh lebih kompleks.
Kesimpulan
Penurunan drastis penjualan Tesla di Inggris menjadi alarm keras bagi masa depan bisnisnya di Eropa. Kekalahan dari merek-merek baru asal Tiongkok menandakan bahwa dominasi teknologi tak cukup untuk mempertahankan pangsa pasar jika tidak diimbangi dengan manajemen reputasi yang cermat. Saat ini, Tesla butuh lebih dari sekadar insentif penjualan—perlu transformasi citra dan pendekatan baru untuk merebut kembali hati konsumen Eropa.