Sumber foto: iStock

Terungkap! Nasi, Daging, dan Seafood Kini Bisa Jadi 'Pembunuh Diam-Diam' Akibat Pemanasan Global

Tanggal: 24 Mei 2025 18:27 wib.
Dampak dari perubahan iklim bukan hanya sekadar kenaikan suhu atau pencairan es di kutub. Salah satu efeknya yang jarang disadari masyarakat adalah ancaman tersembunyi terhadap makanan sehari-hari yang kita konsumsi—seperti nasi, daging, produk susu, dan seafood. Para pakar menyebut kondisi ini sebagai 'tanda-tanda kiamat' karena membahayakan kesehatan manusia secara langsung dan meluas.

Salah satu contoh nyata datang dari India. Sumitra Sutar, seorang wanita berusia 75 tahun yang tinggal di desa Haroli, Maharashtra, selama lebih dari 50 tahun mengandalkan nasi dan kari lentil sebagai menu pokoknya. Namun, lima tahun lalu, makanan rutin itu justru membuatnya muntah hingga 15 kali dalam sehari. Setelah diperiksa, ternyata penyebabnya adalah kontaminasi bakteri dalam makanan yang menghasilkan racun berbahaya. Racun tersebut memicu muntah parah, infeksi saluran pernapasan, hingga peradangan pada mata.

Kondisi ini menunjukkan bagaimana pemanasan global memperburuk situasi. Menurut laporan LiveScience (19/5/2025), suhu Bumi yang semakin meningkat mempermudah bakteri berkembang biak di makanan yang disimpan setelah dimasak. Salah satunya adalah patogen Bacillus cereus, yang tahan terhadap suhu panas dan menghasilkan spora beracun.

Masalah ini tidak hanya menimpa satu individu. Di banyak tempat, makanan yang sebelumnya aman kini menjadi medium berbahaya karena panas ekstrem, banjir, dan kelembapan tinggi yang mendukung pertumbuhan bakteri seperti salmonella, campylobacter, dan listeria. Terlebih lagi, tanaman bisa tercemar limbah saat banjir besar melanda, dan sayuran yang dikonsumsi mentah menjadi medium penyebaran infeksi.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan sebanyak 600 juta orang mengalami sakit akibat penyakit dari makanan setiap tahun, dengan 420.000 orang meninggal dunia. Yang paling rentan adalah anak-anak di bawah usia lima tahun—sekitar 125.000 anak kehilangan nyawa mereka setiap tahunnya karena infeksi makanan yang sebenarnya bisa dicegah.

Faktor-faktor yang memperparah situasi ini antara lain adalah praktik pertanian yang tidak ramah lingkungan dan kerentanan dalam rantai pasok makanan global. Dalam studi tinjauan yang dimuat di jurnal eBiomedicine pada tahun ini, ditemukan bahwa setiap kenaikan suhu sebesar 1°C meningkatkan risiko infeksi akibat salmonella non-tifoid dan campylobacter sebesar 5%. Bakteri ini bisa menyebabkan keracunan makanan dan gejala pencernaan parah.

Desa tempat tinggal Sumitra Sutar mengalami peningkatan suhu hingga 43°C dalam satu dekade terakhir. Kondisi ekstrem ini membuat jumlah kasus keracunan makanan meningkat signifikan, seperti yang dilaporkan oleh Padmashri Sutar, seorang tenaga kesehatan di daerah tersebut. Menurutnya, suhu panas membuat bakteri tumbuh subur dalam produk susu, daging, dan makanan laut.

Penelitian yang dilakukan di Meksiko bagian barat laut juga menunjukkan bahwa kondisi lingkungan seperti ini mempercepat penyebaran spesies salmonella. Studi lain dalam jurnal Applied and Environmental Microbiology bahkan memperkirakan bahwa perubahan iklim ke depan akan terus meningkatkan risiko penyakit makanan yang disebabkan oleh bakteri tersebut. Di Amerika Serikat saja, salmonella memengaruhi lebih dari 1,2 juta orang setiap tahunnya.

Tidak hanya gelombang panas, banjir juga menjadi penyumbang besar terhadap kontaminasi pangan. Air yang meluap bisa membawa kotoran dari ternak yang digembalakan di dekat area pertanian, mencemari hasil panen seperti sayur-sayuran yang biasa dikonsumsi mentah. Ini jelas meningkatkan risiko wabah penyakit di masyarakat.

Martin Richter, kepala unit keamanan makanan di German Federal Institute for Risk Assessment, menyarankan agar masyarakat lebih waspada dengan memasak makanan pada suhu minimal 70°C selama dua menit. Langkah ini terbukti efektif dalam membunuh bakteri patogen di permukaan makanan.

Namun, di sisi lain, edukasi tentang bahaya perubahan iklim terhadap makanan masih kurang. Banyak masyarakat menganggap perubahan iklim hanya sebagai isu lingkungan yang tidak berdampak langsung terhadap kehidupan sehari-hari. Padahal, risikonya menyentuh hal yang paling dekat dengan manusia: makanan.

Ahmed Hamad, dosen di Benha University Mesir, menyebut adanya miskonsepsi bahwa cuaca dingin bisa membunuh semua jenis bakteri. Faktanya, beberapa bakteri seperti listeria justru tetap bisa berkembang dalam suhu dingin, sehingga perubahan iklim yang mengubah pola cuaca ekstrem tetap membawa ancaman.

Padmashri Sutar, sebagai petugas medis, sering menemui kesulitan ketika menyampaikan informasi ini kepada warga desa. Banyak dari mereka masih beranggapan bahwa keracunan makanan hanya disebabkan karena penyimpanan yang buruk atau makanan basi, bukan karena perubahan iklim. Ia bahkan harus bersabar dan memberikan penjelasan berkali-kali bahwa penyakit dari makanan juga berasal dari faktor lingkungan yang kini berubah drastis.

Realita yang dihadapi sekarang adalah sinyal kuat bahwa dunia perlu memandang perubahan iklim sebagai isu lintas sektor. Bukan hanya lingkungan, tetapi juga kesehatan, pangan, dan keberlangsungan hidup. Jika tidak ada penanganan dan pemahaman yang menyeluruh, makanan yang dulunya menjadi sumber energi bisa berubah menjadi sumber penyakit mematikan.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved