Sumber foto: iStock

Terungkap! Mantan Bos Facebook Bongkar Cara Meta Eksploitasi Emosi Remaja untuk Raup Cuan

Tanggal: 12 Apr 2025 13:55 wib.
Tampang.com | Sebuah pengakuan mengejutkan datang dari mantan eksekutif Meta, Sarah Wynn-Williams, yang sempat menjabat sebagai Direktur Kebijakan Publik Global di Facebook. Dalam kesaksian terbuka di hadapan Senat Amerika Serikat, ia membeberkan praktik internal Meta—perusahaan induk Facebook dan Instagram—yang dinilai mengeksploitasi kondisi emosional remaja demi keuntungan iklan.

Kesaksian ini disampaikan pada Rabu, 9 April 2025, sebagai bagian dari rangkaian sidang lanjutan terkait keamanan anak di dunia digital. Sarah, yang kini telah meninggalkan Meta, mengungkapkan bahwa perusahaan milik Mark Zuckerberg secara aktif mengincar pengguna muda, khususnya yang berusia 13 hingga 17 tahun, dengan iklan yang disesuaikan berdasarkan kondisi psikologis mereka.

Buku ‘Careless People’ Bongkar Rahasia Gelap Meta

Klaim ini pertama kali muncul dalam buku terbaru Wynn-Williams berjudul Careless People. Dalam buku tersebut, ia mendokumentasikan pengalamannya selama bertahun-tahun di dalam perusahaan teknologi raksasa itu, termasuk sikap acuh para petinggi seperti CEO Mark Zuckerberg dan COO Sheryl Sandberg terhadap dampak sosial dari platform mereka.

Menurut Sarah, para petinggi Meta lebih fokus pada potensi monetisasi daripada risiko terhadap kesehatan mental penggunanya, terutama remaja. Ia menyebut bahwa perusahaan dengan nilai triliunan dolar seperti Meta seharusnya tidak perlu menempuh jalur eksploitasi emosional untuk meraih keuntungan.

Target: Remaja yang Sedang Tidak Stabil

Dalam kesaksiannya, Sarah menyebutkan bahwa sistem algoritma Meta mampu mendeteksi momen-momen ketika seorang remaja merasa tidak berharga, tidak percaya diri, atau bahkan mengalami gejala depresi. Ketika momen itu terdeteksi, sistem akan mengarahkan pengguna tersebut ke iklan-iklan yang dianggap "relevan" oleh pengiklan.

Contohnya, ketika seorang remaja perempuan menghapus foto selfie-nya, itu bisa dibaca oleh sistem sebagai sinyal ketidakpercayaan diri. Perusahaan kemudian dapat menayangkan iklan produk kecantikan atau pelangsing kepada pengguna tersebut.

“Meta tahu betul bahwa remaja adalah kelompok yang rentan, tetapi juga sangat berharga di mata pengiklan,” kata Sarah. “Pengiklan tahu bahwa ketika seseorang merasa buruk tentang dirinya sendiri, mereka lebih cenderung membeli sesuatu sebagai bentuk pelarian atau upaya perbaikan diri.”

Internal Chat dan Fakta Mengejutkan: Anak Petinggi Meta Dilarang Gunakan Instagram

Sebagai bentuk bukti pendukung, Wynn-Williams juga menunjukkan isi percakapan internal antara para eksekutif Meta, yang menunjukkan kesadaran penuh atas dampak negatif dari produk mereka. Salah satu fakta mencengangkan yang ia ungkapkan adalah bahwa banyak petinggi di Silicon Valley sendiri justru melarang anak-anak mereka menggunakan Facebook maupun Instagram.

“Saya pernah bertanya kepada salah satu rekan apakah anaknya menggunakan produk baru yang akan kami luncurkan. Jawabannya: ‘Anak saya tidak diizinkan pakai Facebook, bahkan tidak punya akun Instagram,’” ungkap Sarah. “Tingkat kemunafikannya sangat mengerikan.”

Meta Bungkam? Ini Tanggapan Resminya

Menanggapi berbagai tuduhan tersebut, Meta merilis pernyataan resmi yang menyangkal semua klaim Wynn-Williams. Perusahaan menyebut kesaksian mantan eksekutifnya itu tidak mencerminkan kenyataan dan dianggap sebagai tuduhan palsu. Namun, hingga saat ini, tekanan publik dan lembaga pemerintah terhadap Meta terus meningkat, mengingat banyaknya kasus kesehatan mental pada remaja yang dikaitkan dengan penggunaan media sosial.

Peringatan Keras untuk Dunia Digital

Kesaksian Sarah Wynn-Williams menambah panjang daftar kekhawatiran terkait pengaruh media sosial terhadap perkembangan psikologis anak-anak dan remaja. Dengan kemampuan teknologi yang semakin canggih, perusahaan seperti Meta kini bisa membaca ekspresi digital penggunanya secara mendalam—bahkan saat mereka tidak menyadarinya.

Hal ini mengundang perdebatan etis mengenai batasan yang seharusnya diterapkan dalam pengumpulan dan pemanfaatan data pengguna. Apakah memanfaatkan kelemahan emosional pengguna, terutama anak-anak, demi mendongkrak pendapatan iklan masih bisa dibenarkan?

Kembali ke Tanggung Jawab Sosial

Sebagai mantan orang dalam, Sarah mengingatkan bahwa tanggung jawab moral dan sosial seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam pengelolaan platform sebesar Facebook dan Instagram. Ia juga mengajak regulator, orang tua, dan masyarakat luas untuk tidak lengah terhadap praktik-praktik manipulatif yang mungkin tersembunyi di balik kecanggihan teknologi digital.

“Meta tidak kekurangan sumber daya untuk membangun platform yang lebih sehat. Namun selama orientasi mereka masih semata-mata pada keuntungan, pengguna remaja akan terus menjadi korban,” tegasnya.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Kesaksian ini membuka mata bahwa pengawasan terhadap perusahaan teknologi harus semakin diperketat. Orang tua disarankan untuk lebih aktif memantau aktivitas online anak, sementara pemerintah dan lembaga regulasi diminta untuk meninjau ulang kebijakan perlindungan data, khususnya bagi pengguna di bawah umur.

Yang tak kalah penting, pengguna sendiri harus semakin cerdas dalam mengelola konsumsi media sosial mereka. Kesadaran kolektif sangat diperlukan agar dunia digital tak menjadi ruang berbahaya yang justru menyasar sisi paling rapuh dari kemanusiaan kita: emosi.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved