Sumber foto: iStock

Tarif Tak Masuk Akal, Potongan Mencekik: Ojol Ancam Turun ke Jalan Lagi! Ini Hitungan Ruginya

Tanggal: 25 Mei 2025 21:35 wib.
Gelombang protes kembali bergulir dari para pengemudi ojek online (ojol) di Indonesia. Mereka menyuarakan keluhan yang sudah bertahun-tahun terpendam: sistem yang dinilai tidak adil dan membuat para mitra pengemudi terus merugi. Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi V DPR RI pada Rabu (21/5/2025), perwakilan driver menyampaikan sederet persoalan yang mereka hadapi kepada wakil rakyat, mulai dari tarif yang tidak transparan, potongan aplikasi yang mencekik, hingga pengabaian terhadap biaya operasional.

Ade Armansyah, perwakilan dari Aliansi Korban Aplikator, menyatakan bahwa selama 10 tahun terakhir, para pengemudi, khususnya roda empat (R4), telah diperlakukan seperti "sapi perah" oleh perusahaan aplikator. Menurutnya, para driver tidak pernah diberi kesempatan untuk duduk bersama dan berdiskusi terkait sistem tarif maupun potongan yang diterapkan oleh perusahaan.

“Selama satu dekade, kami hanya jadi sumber keuntungan. Tidak pernah diajak bicara, tidak ada transparansi soal hitung-hitungan biaya. Padahal kami yang menghadapi medan, kami yang keluar uang untuk bensin, servis, dan segala perawatan kendaraan,” ungkap Ade di hadapan anggota DPR.

Salah satu sorotan terbesar adalah soal penetapan tarif minimum sebesar Rp3.300, yang dianggap tidak masuk akal. Ade mempertanyakan dasar perhitungan tarif tersebut. Ia juga menekankan bahwa pengemudi pun berhak mendapatkan keuntungan yang layak.

"Kalau aplikator boleh untung 20 persen, kenapa kami tidak boleh dapat keuntungan 10 persen saja?" tanyanya.

Berdasarkan perhitungan komunitas pengemudi, mereka bisa mengalami kerugian hingga Rp12.000 untuk setiap 10 kilometer perjalanan. Angka ini muncul setelah memperhitungkan biaya bensin, servis kendaraan, hingga potongan dari aplikasi.

Dalam forum yang sama, Igun Wicaksono, Ketua Umum Asosiasi Pengemudi Ojol Garda Indonesia, menggarisbawahi bahwa potongan aplikasi menjadi beban terberat bagi mitra driver. Ia mengungkapkan bahwa banyak aplikator yang masih memotong penghasilan driver lebih dari 20%, bahkan dalam beberapa kasus bisa mendekati 50%.

“Bayangkan, 365 hari dikali tiga tahun terakhir, berapa triliun uang yang telah mereka ambil dari pengemudi roda dua,” ungkap Igun dengan nada kecewa.

Igun menambahkan, tuntutan mereka sebenarnya sederhana: batasi potongan aplikasi maksimal 10%. Namun hingga kini, belum ada regulasi atau kebijakan konkret dari pemerintah maupun aplikator untuk mengakomodasi permintaan tersebut.

Ia menegaskan bahwa jika tuntutan ini tidak dipenuhi hingga akhir Mei 2025, maka para pengemudi dari seluruh Indonesia siap untuk kembali menggelar aksi demonstrasi besar-besaran.

Aksi damai yang telah digelar pada 20 Mei 2025 lalu dinilai belum membuahkan hasil. Meski berjalan tertib, pertemuan dengan pihak-pihak terkait tidak menghasilkan keputusan tegas.

"Tuntutan kami belum digubris. Jadi kami beri waktu sampai akhir bulan. Kalau tetap tak ada perubahan, kami akan konsolidasi nasional dan melakukan aksi lebih besar," ucap Igun.

Ia juga menyebut bahwa aksi offbid massal pada 20 Mei lalu telah berdampak besar bagi aplikator. Menurut data dari badan kajian internal, aksi tersebut menyebabkan kerugian hingga Rp187 miliar hanya dalam satu hari.

“Kalau aplikator masih mengabaikan, kami siap bikin mereka lebih rugi lagi. Ini bukan ancaman, tapi peringatan,” tegasnya.

Selain isu tarif dan potongan, para driver juga mengeluhkan lemahnya penegakan regulasi yang ada. Salah satunya adalah Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 118 Tahun 2018 yang selama ini hanya dianggap sebagai dokumen mati, tanpa penerapan nyata di lapangan.

Driver berharap Komisi V DPR RI mampu menekan Kementerian Perhubungan untuk segera mengambil langkah konkret. Para pengemudi merasa sudah terlalu lama diabaikan dan hanya dianggap sebagai angka dalam laporan perusahaan, bukan sebagai mitra sejati.

Dalam konteks Ekonomi Berbasis Digital, kehadiran aplikasi transportasi online seharusnya memberikan manfaat bukan hanya kepada perusahaan dan pengguna, tetapi juga kepada pengemudi yang menjalankan layanan di lapangan. Tanpa perlindungan yang jelas, para driver berisiko terjebak dalam sistem yang hanya menguntungkan satu pihak.

Kini, tuntutan mereka bukan sekadar soal uang, melainkan soal keadilan dan pengakuan atas jerih payah yang selama ini telah mereka berikan. Mereka menginginkan hubungan yang lebih transparan, partisipatif, dan saling menguntungkan.

Masyarakat luas, sebagai pengguna jasa, juga perlu lebih peka terhadap situasi ini. Di balik kenyamanan memesan layanan transportasi lewat ponsel, terdapat perjuangan para pengemudi yang berhadapan dengan kenyataan keras di jalan dan sistem yang belum berpihak pada kesejahteraan mereka.

Jika tuntutan tidak ditanggapi, aksi nasional besar-besaran yang digagas para driver ojol bukan lagi sekadar kemungkinan, tapi ancaman nyata yang bisa mengguncang ekosistem transportasi daring di Indonesia. Dan pada akhirnya, semua pihak—termasuk kita sebagai pengguna—akan turut merasakan dampaknya.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved