Sumber foto: Suara Surabaya

Tarif Ekspor Buatan AI? Bongkar Rahasia di Balik Kebijakan Dagang Trump yang Bikin Geger Dunia

Tanggal: 8 Apr 2025 20:03 wib.
Dunia internasional dikejutkan oleh kebijakan terbaru Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang mengumumkan tarif resiprokal terhadap berbagai negara mitra dagang. Namun, yang lebih mengejutkan lagi adalah dugaan bahwa angka-angka tarif tersebut berasal dari perhitungan buatan Artificial Intelligence (AI), bukan dari analisis ekonomi konvensional.

Laporan ini pertama kali diangkat oleh The Verge dan ekonom terkemuka James Surowiecki, yang mengungkap adanya pola sederhana dalam cara tarif tersebut dihitung. Jika benar, ini bisa menjadi contoh nyata bagaimana teknologi AI mulai memainkan peran besar dalam kebijakan ekonomi global—meski juga memunculkan tanda tanya besar tentang akurasinya.

AI di Balik Kebijakan Trump? Ini Fakta Mengejutkannya

Menurut The Verge, angka tarif yang diumumkan Trump tampak berasal dari rumus perhitungan dasar yang bisa dilakukan oleh chatbot AI. Tim dari Gedung Putih dikabarkan harus membuat keputusan cepat dan tidak sempat melakukan kajian panjang. Dalam kondisi tersebut, AI digunakan untuk mempercepat analisis dan menghasilkan tarif resiprokal yang terlihat “matematis masuk akal”.

James Surowiecki, seorang pengamat ekonomi dan penulis ternama, menunjukkan bahwa siapa pun sebenarnya bisa memperoleh angka yang sama dengan menggunakan rumus sangat sederhana: ambil angka defisit perdagangan suatu negara terhadap AS, lalu bagi dengan total ekspor negara tersebut ke Amerika.

“Hasil pembagian itu akan memberi Anda angka yang kemudian bisa disebut sebagai ‘tarif resiprokal versi diskon’. Dan itulah yang terjadi,” jelas Surowiecki.

Netizen Mencoba Sendiri: ChatGPT hingga Grok Hasilkan Rumus yang Sama

Kabar ini semakin ramai setelah beberapa pengguna media sosial, terutama di platform X (dulu Twitter), melakukan eksperimen sendiri. Mereka mengetes berbagai chatbot AI—mulai dari ChatGPT, Gemini, Claude, hingga Grok—untuk melihat bagaimana AI menghitung tarif berdasarkan data defisit perdagangan.

Hasilnya ternyata konsisten. Semua chatbot memberikan rumus serupa, yaitu defisit perdagangan dibagi ekspor, lalu dikalikan 100 untuk mendapatkan persentase tarif. Ini menimbulkan dugaan kuat bahwa AI memang terlibat dalam proses pembuatan tarif resiprokal oleh pemerintahan Trump, atau setidaknya digunakan sebagai alat bantu untuk mempercepat pengambilan keputusan.

Namun, perlu dicatat bahwa Gedung Putih membantah klaim ini. Mereka mengatakan akan segera mempublikasikan rumus resmi yang digunakan untuk menetapkan tarif, sembari menyatakan bahwa kebijakan ini adalah bagian dari upaya menyamakan kedudukan perdagangan global yang selama ini dianggap merugikan AS.

Tarif Impor: Seragam dan Selektif

Secara umum, pemerintahan Trump menerapkan tarif impor dasar sebesar 10% untuk seluruh negara. Namun, ada juga tarif tambahan yang disesuaikan secara resiprokal, tergantung pada seberapa besar defisit perdagangan antara negara tersebut dan AS.

Contohnya, Indonesia dikenakan tarif sebesar 32%, karena dianggap memiliki defisit cukup besar dengan Amerika. Negara-negara lain juga mendapat tarif berbeda-beda berdasarkan perhitungan serupa.

Kebijakan ini disebut-sebut sebagai langkah Trump untuk “menyamaratakan perlakuan dagang” dan mendorong negara mitra untuk membuka akses pasar yang lebih adil bagi produk-produk AS.

Imbasnya: Potensi Gejolak Ekonomi Global

Kebijakan tarif buatan AI ini menimbulkan kekhawatiran luas di kalangan pengamat ekonomi dan pelaku pasar global. Banyak yang mempertanyakan validitas dan legitimasi metode perhitungannya, apalagi jika benar hanya mengandalkan rumus sederhana dari chatbot.

Jika pendekatan seperti ini terus digunakan dalam kebijakan penting, dikhawatirkan akan memicu gejolak perdagangan internasional, ketidakpastian pasar, hingga menurunnya kepercayaan negara-negara mitra terhadap AS sebagai mitra dagang strategis.

Beberapa analis juga menyoroti risiko kesenjangan ekonomi akibat tarif tinggi yang diberlakukan sepihak. Misalnya, jika tarif membuat harga barang impor melonjak, maka konsumen di AS bisa ikut terdampak, terutama untuk barang-barang elektronik, otomotif, dan produk sehari-hari.

Bahkan, seperti diberitakan sebelumnya oleh CNBC, tarif tinggi ini bisa membuat harga iPhone melambung hingga Rp38 juta. Ini tentunya menjadi beban tambahan bagi konsumen di tengah pemulihan ekonomi pasca pandemi.

AI dalam Kebijakan Publik: Efisiensi atau Ketergantungan?

Fenomena ini membuka diskusi lebih luas soal peran AI dalam pengambilan keputusan kebijakan publik. Di satu sisi, AI mampu bekerja cepat dan efisien dalam memproses data besar dan menyajikan rekomendasi. Namun di sisi lain, ketergantungan pada AI tanpa validasi manusia dapat menimbulkan bias dan kesalahan fatal.

Jika benar bahwa pemerintahan Trump menggunakan AI untuk menyusun kebijakan ekonomi strategis, maka penting untuk memastikan bahwa AI hanya dijadikan alat bantu—bukan penentu akhir kebijakan. Perlu ada pengawasan ketat, keterbukaan rumus, serta keterlibatan para ahli ekonomi untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas.

Antara Strategi Cerdas dan Kontroversi

Kebijakan tarif baru Presiden Trump membuka babak baru dalam persaingan dagang global. Namun, dugaan keterlibatan AI dalam proses perumusan angka tarif mengundang pertanyaan besar—apakah ini strategi cerdas atau hanya jalan pintas penuh risiko?

Satu hal yang pasti, penggunaan teknologi dalam kebijakan publik harus selalu diawasi secara ketat. Kecepatan tidak boleh mengorbankan ketepatan. Dan transparansi adalah kunci agar publik dan komunitas internasional tetap percaya pada proses pengambilan keputusan di pemerintahan mana pun.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved