Talenta AI Ramai-Ramai Tinggalkan OpenAI, Meta Siapkan Gaji Fantastis hingga Rp 1,6 Triliun!
Tanggal: 30 Jun 2025 22:17 wib.
Industri kecerdasan buatan (AI) tengah memasuki fase kompetisi yang sangat sengit, tak hanya dari sisi inovasi teknologi, tetapi juga dalam perebutan sumber daya manusia unggul. Salah satu berita besar yang mengguncang dunia teknologi datang dari OpenAI, perusahaan di balik platform fenomenal ChatGPT, yang kini tengah mengalami eksodus besar-besaran dari tim penelitinya.
Dalam beberapa minggu terakhir, OpenAI dilaporkan kehilangan setidaknya delapan ahli AI terbaiknya. Penyebabnya? Tawaran menggiurkan dari Meta, perusahaan induk dari Facebook, Instagram, dan WhatsApp. Meta, yang tengah gencar memperluas dominasi dalam pengembangan AI, menawarkan paket kompensasi super fantastis yang bahkan disebut-sebut mencapai US$ 100 juta atau sekitar Rp 1,6 triliun per individu.
Situasi ini sontak menimbulkan kekhawatiran serius di internal OpenAI. Chief Research Officer OpenAI, Mark Chen, mengungkapkan kegelisahannya dalam sebuah pesan internal yang bocor ke publik. Ia mengibaratkan kejadian ini seperti rumahnya yang dibobol maling, menggambarkan rasa kehilangan dan keterkejutannya atas gelombang resign yang terjadi secara tiba-tiba.
“Saya merasa seperti sedang mulas, seperti rumah saya dibobol dan barang berharga dicuri,” ujar Chen dalam sebuah pesan di Slack yang dilaporkan oleh Wired.
Untuk merespons fenomena ini, manajemen OpenAI langsung bergerak cepat. Chen menyebut bahwa ia dan CEO OpenAI, Sam Altman, kini tengah menyusun strategi untuk mencegah bakat terbaik mereka berpindah ke kompetitor. Salah satu langkah konkret yang dilakukan adalah dengan menghitung ulang struktur gaji, serta mencari pendekatan baru untuk memberikan penghargaan kepada talenta berprestasi di internal perusahaan.
Sementara itu, Meta Platforms, yang dikomandoi oleh CEO ambisius Mark Zuckerberg, memang sedang melakukan ekspansi besar-besaran di ranah AI. Tak hanya agresif mengembangkan teknologi, Meta juga diketahui memburu para peneliti unggulan dari berbagai institusi ternama, termasuk dari OpenAI dan DeepMind (Google). Zuckerberg bahkan dilaporkan menghubungi langsung para kandidat yang dianggap penting, menunjukkan betapa seriusnya Meta dalam misi ini.
Beberapa nama besar yang telah dikonfirmasi hijrah dari OpenAI ke Meta antara lain adalah Shengjia Zhao, Jiahui Yu, Shuchao Bi, dan Hongyu Ren, sebagaimana dilaporkan oleh The Information dan dikutip oleh Reuters. Sementara itu, laporan Wall Street Journal juga menyebutkan bahwa tiga peneliti OpenAI yang bermarkas di Swiss—Lucas Beyer, Alexander Kolesnikov, dan Xiaohua Zhai—sudah lebih dulu direkrut oleh Meta.
Fenomena ini menjadi bukti nyata bahwa perang talenta dalam industri AI kini benar-benar memanas. Zuckerberg bahkan telah menyusun daftar incaran berisi peneliti AI dari universitas-universitas top seperti University of California, Berkeley, dan Carnegie Mellon University. Tidak hanya membidik talenta dari dunia akademik, Meta juga secara aktif merekrut dari pesaing-pesaing utamanya.
Langkah Meta ini bisa dimaklumi mengingat ambisi besar mereka untuk menjadi pemimpin utama dalam ekosistem kecerdasan buatan dunia. Dengan meningkatnya adopsi teknologi AI dalam kehidupan sehari-hari, dari sistem rekomendasi konten hingga asisten virtual, posisi strategis dalam industri ini akan sangat menentukan siapa yang menjadi raja ekonomi digital masa depan.
Namun, di sisi lain, kondisi ini menjadi tantangan besar bagi OpenAI. Selain harus menjaga stabilitas internal dan mempertahankan tim penelitinya, perusahaan ini juga dituntut untuk menjaga kepercayaan publik dan mitra, mengingat mereka adalah pionir dalam pengembangan teknologi AI berbasis etika dan keamanan.
Banyak pihak kini mempertanyakan: mampukah OpenAI bertahan di tengah gempuran raksasa-raksasa teknologi lain? Apakah tawaran finansial semata cukup untuk “membeli” loyalitas dan semangat idealisme para peneliti AI?
Yang jelas, persaingan ini bukan sekadar soal uang, tapi juga menyangkut visibilitas jangka panjang, misi perusahaan, dan ekosistem kolaboratif. Meta, OpenAI, Google, hingga Amazon kini berlomba-lomba bukan hanya menciptakan produk AI paling canggih, tetapi juga menjadi tempat kerja terbaik bagi otak-otak brilian dunia.
Di tengah ketatnya persaingan ini, langkah proaktif menjadi keharusan. OpenAI harus mampu menyesuaikan strategi talent management-nya, dari sistem kompensasi yang kompetitif, hingga pembangunan budaya kerja yang mendorong inovasi dan keterlibatan karyawan secara mendalam.
Pada akhirnya, dinamika ini menunjukkan bahwa kecerdasan buatan bukan hanya medan inovasi teknologi, tetapi juga arena politik sumber daya manusia. Siapa yang memiliki tim terbaik, dialah yang kemungkinan besar akan menguasai masa depan.