Sumber foto: iStock

Starlink Resmi Masuk Indonesia: Peluang, Tantangan, dan Kontroversi di Tahun 2024

Tanggal: 29 Des 2024 13:26 wib.
Teknologi satelit Starlink telah resmi hadir di Indonesia, menjadi salah satu topik terpopuler sepanjang tahun ini. Rumor tentang kedatangan Starlink telah beredar sejak beberapa waktu lalu, dan pada tahun sebelumnya, CNBC Indonesia melaporkan bahwa layanan tersebut siap beroperasi di Indonesia mulai 2024.

Pada bulan April, Budi Arie Setiadi yang saat itu menjabat sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika mengumumkan bahwa Starlink telah melakukan uji coba di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara setelah lebaran.

Beliau menegaskan bahwa layanan internet berbasis satelit tersebut telah mematuhi semua aturan yang berlaku di Indonesia, dan layanannya ditujukan langsung kepada konsumen dengan pola bisnis B2C.

Starlink akhirnya resmi masuk ke Indonesia pertengahan tahun, dengan kunjungan langsung dari bosnya, Elon Musk, yang datang ke Bali untuk meresmikan layanan tersebut.

Harga layanan Starlink dibanderol mulai dari Rp 750 ribu untuk paket Residensial dan Jelajah sebesar Rp 990 ribu. Adapun harga perangkatnya dijual mulai dari Rp 7,8 juta, namun sempat didiskon menjadi Rp 4,7 juta dan Rp 5,9 juta dalam dua kesempatan berbeda.

Menteri Investasi pada saat itu, Bahlil Lahadalia, mengungkapkan bahwa investasi Starlink di Indonesia mencapai Rp 30 miliar. Selain itu, ia juga menyampaikan bahwa Starlink hanya memiliki tiga karyawan.

Data terkait perusahaan tersebut di Indonesia diperoleh dari website Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM, yang menunjukkan bahwa Leonard Mamahit merupakan direktur dari Starlink Service Indonesia.

Pemegang saham dari Starlink Indonesia adalah Starlink Holdings Netherlands dan SpaceX Netherlands yang berasal dari Belanda. Terkait kritik yang muncul, sejumlah operator menginginkan perlakuan yang sama antara Starlink dan perusahaan lokal lainnya.

Namun, Budi Arie Setiadi menegaskan bahwa pemerintah tidak memberikan perlakuan khusus kepada Starlink dan bahwa perusahaan tersebut harus tetap mematuhi kewajiban-kewajiban yang sama dengan penyelenggara lainnya.

Informasi lain menyebutkan bahwa biaya regulasi yang dikenakan kepada perusahaan hanya sebesar Rp 2 miliar per tahun untuk satu unit satelit berdasarkan Biaya Hak Penggunaan (BHP) izin stasiun radio satelit.

Namun, data dari Dirjen Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Kominfo menyebutkan bahwa besaran BHP yang sesungguhnya sekitar Rp 23 miliar. Perbedaan angka ini mengundang perdebatan terkait besaran biaya yang sebenarnya harus dibayarkan oleh Starlink.

Harganya yang relatif murah juga menjadi sorotan. Meski harganya memang cukup terjangkau, namun tidak terlampau berbeda dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Filipina. Selain itu, KPPU juga mengeluarkan studi terkait layanan low-earth orbit yang diadopsi oleh Starlink.

Menurut KPPU, layanan ini seharusnya difokuskan pada daerah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (3T), dengan mengutamakan kemitraan antara penyedia jasa internet berbasis LEO dengan pelaku jasa telekomunikasi dan pelaku UMKM.

Selain itu, terdapat kritikan terhadap fitur direct-to-cell yang dapat membuat Starlink menjadi pelaku usaha dominan di wilayah tersebut dan memicu persaingan usaha tidak sehat dengan pelaku usaha nasional yang tidak memiliki teknologi satelit LEO.

Meskipun begitu, Starlink belum memiliki rencana untuk meluncurkan layanan direct-to-cell di Indonesia. Tidak ada operator seluler Indonesia yang bekerja sama dengan Starlink untuk implementasi layanan ini di tanah air.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved