Starlink Elon Musk: Kapasitas 23,7 Tbps, Melebihi Kapasitas OneWeb Cs
Tanggal: 26 Jul 2024 12:41 wib.
Layanan internet berbasis satelit orbit bumi rendah Starlink milik Elon Musk diperkirakan memiliki kapasitas total throughput yang sangat besar hingga 23,7 Terabits per second (Tbps), lebih besar dibandingkan dengan satelit orbit rendah (low earth orbit/LEO) lainnya seperti OneWeb.
Berdasarkan pemaparan Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) saat berkunjung ke Bisnis Indonesia, diperkirakan setiap satelit Starlink memiliki kapasitas total throughput mencapai 23,7 Terabits per detik (Tbps).
Tingginya kapasitas throughput Starlink ini menegaskan posisinya sebagai pemimpin dalam industri jaringan satelit, terutama di konstelasi satelit LEO, mengungguli pesaingnya seperti OneWeb dan Telesat.
Dibandingkan dengan pesaingnya, OneWeb memiliki estimasi kapasitas mencapai 1,56 Tbps per satelit, sedangkan Telesat memiliki 15 Tbps per satelit. Jika dibandingkan, Starlink jelas unggul dalam hal kapasitas throughput yang dimilikinya, menunjukkan investasi besar yang dilakukan oleh proyek ini.
Selain kapasitas throughput yang besar, Starlink juga memiliki keunggulan lain dalam hal orbitnya. Starlink sendiri mengorbit pada ketinggian sekitar 560 kilometer (km) di atas permukaan bumi, menghadirkan kestabilan sinyal yang lebih baik dibandingkan dengan satelit-satelit lainnya yang beroperasi di ketinggian yang lebih rendah.
Proyek SpaceX milik Elon Musk ini memproyeksikan belanja modal (Capex) sebesar US$10 miliar atau sekitar Rp164,21 triliun (kurs Rp16.421 per dolar AS), mengonfirmasikan komitmen besar dari perusahaan ini dalam membangun infrastruktur jaringan satelitnya.
Sementara itu, pesaing Starlink seperti OneWeb yang beroperasi di orbit sekitar 1.200 km diestimasi memiliki belanja modal sebesar US$2,4 miliar atau sekitar Rp39,41 triliun. Lalu, Telesat yang berada di orbit 1.000 km mengalokasikan capex senilai US$5 miliar atau sekitar Rp82,1 triliun. Adapula, Amazon dengan Project Kuiper yang memiliki orbit antara 590–630 km mengestimasi alokasi capex senilai US$10 miliar atau sekitar Rp164,21 triliun.
Keempat konstelasi satelit ini memiliki target pasar yang mencakup backhaul seluler, fixed and mobile broadband, dan pemerintahan. Namun, kehadiran Starlink di Indonesia juga menimbulkan pro dan kontra. Terdapat kekhawatiran bahwa Starlink dapat melakukan predatory pricing yang dapat mengancam bisnis operator telekomunikasi eksisting, baik dari segi layanan seluler, operator jaringan kabel serat optik (FTTH), operator jaringan satelit geostasioner (GSO), penyelenggara jasa internet (internet service provider/ISP), maupun penyelenggara menara.
Kemungkinan masuknya Starlink ke Indonesia juga mampu meningkatkan kecepatan internet broadband, terutama di daerah pedesaan atau terpencil. Ini akan berdampak positif pada upaya pemerintah dalam mempercepat penetrasi internet broadband khususnya di berbagai daerah di Indonesia.
Diharapkan, dengan hadirnya layanan internet Starlink, implementasi program pemerintah di bidang kesehatan, pendidikan, dan sektor lainnya di wilayah terpencil atau remote dapat berjalan dengan lebih efisien. Hal ini juga akan membantu perkembangan ekonomi serta konektivitas di daerah-daerah yang sulit dijangkau oleh layanan internet konvensional.
Dengan semua kelebihan dan kekhawatiran yang muncul, kehadiran Starlink di Indonesia bisa menjadi titik balik dalam perkembangan jaringan internet, dan diharapkan dapat memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Meskipun demikian, pengawasan yang ketat dan kerja sama antara pemerintah dan pemangku kepentingan merupakan hal yang sangat penting untuk mengoptimalkan manfaat layanan internet satelit ini.