Starlink Dikenai Biaya Hak Penggunaan Rp 23 Miliar Per Tahun, Ini Profil Perusahaan Internet Satelit Elon Musk
Tanggal: 27 Jun 2024 08:13 wib.
Teknologi internet satelit Starlink yang dimiliki oleh Elon Musk telah menarik perhatian, terutama dari industri seluler di Indonesia, terkait potensi layanan langsung ke handset atau telepon pelanggan seluler.
Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, Ismail, menegaskan bahwa Starlink tidak diizinkan memberikan layanan "Direct to Cell" di Indonesia.
Pada kesempatan yang sama, Ismail juga memaparkan perbedaan dalam penerapan Biaya Hak Penggunaan (BHP) antara layanan internet berbasis satelit seperti Starlink dengan penyelenggara telekomunikasi seluler.
Dia mengungkapkan bahwa Starlink memiliki kategori yang berbeda karena BHP yang dikenakan harus mematuhi Izin Stasiun Radio (ISR) untuk layanan satelit. "PP No. 43 Tahun 2023 tersebut ditetapkan setelah melalui serangkaian konsultasi publik dengan para pemangku kepentingan dan tahapan harmonisasi dengan sejumlah kementerian terkait lainnya," ujar Ismail pada 23 Juni 2024 di Jakarta.
Penghitungan BHP Starlink tentu berbeda dengan BHP Izin Pita Frekuensi Radio (IPFR) yang dikenakan kepada penyelenggara telekomunikasi seluler. Ismail menegaskan bahwa Starlink mematuhi kewajiban membayar BHP ISR tanpa mendapat perlakuan khusus. "Besaran BHP ISR yang dikenakan kepada Starlink yang benar adalah sekitar Rp 23 Miliar per tahun," jelas Ismail.
Selain itu, Ismail juga menyoroti peran Direktorat Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI) dalam menetapkan besaran BHP ISR sesuai dengan aturan yang berlaku untuk setiap pelaku industri. "Peran dari Kementerian Kominfo adalah menghitung dan menetapkan besaran BHP ISR untuk penyelenggara satelit dengan berdasarkan pada formula dan indeks yang telah ditetapkan dalam regulasi, baik PP No. 43 Tahun 2023 maupun aturan pelaksanaannya, untuk kemudian ditagihkan kewajiban BHP tersebut kepada penyelenggara satelit bersangkutan," tambah Ismail.
Profil Starlink
Starlink berawal dari ambisi untuk memberikan konektivitas internet yang dapat diandalkan di seluruh dunia, terutama di daerah terpencil dan pedesaan.
Sebagaimana dilansir oleh CNet, proyek ini dimulai pada tahun 2015 oleh SpaceX dengan tujuan awal untuk mengumpulkan data tentang teknologi internet satelit. Namun, visi tersebut segera berkembang menjadi proyek besar untuk membangun jaringan ribuan satelit yang beroperasi di lapisan rendah orbit bumi.
Prototipe satelit Starlink diluncurkan ke orbit pada tahun 2018. Jaringan ini terdiri dari ribuan satelit kecil yang beroperasi di orbit rendah, sebuah pendekatan yang berbeda dari teknologi satelit konvensional yang beroperasi di orbit geostasioner. Hingga saat ini, jumlah total satelit yang telah diluncurkan mencapai sekitar 4.600.
Dengan mengoperasikan satelit di orbit yang lebih rendah, Starlink mampu mengurangi latency (waktu tanggap) dan meningkatkan kecepatan internet secara signifikan.
Ookla, yang menganalisis kinerja internet satelit selama kuartal pertama tahun 2023, mencatat bahwa Starlink menawarkan kecepatan unduh rata-rata hampir 67 Mbps di Amerika Serikat. Meski demikian, angka tersebut menurun secara signifikan dibandingkan dengan akhir tahun 2021, ketika Starlink memiliki kecepatan unduh rata-rata lebih dari 100 Mbps.
Untuk mengoperasikan jaringan satelit ini, pengguna akan menggunakan terminal khusus yang terhubung dengan stasiun darat. Teknologi canggih ini menggabungkan penggunaan satelit yang dapat bergerak secara otonom dan stasiun darat yang terhubung dengan pengguna akhir.
Ini membuktikan bahwa Starlink menunjukkan perkembangan yang signifikan dalam menciptakan jaringan satelit yang inovatif. Dengan kemampuannya untuk memberikan layanan internet di daerah terpencil dan pedesaan, Starlink memiliki potensi besar untuk meningkatkan akses internet di Indonesia.
Dengan begitu, keberadaan Starlink dan layanan internet satelitnya menjadi aset berharga bagi kemajuan teknologi telekomunikasi di Indonesia. Meski demikian, ketegasan dalam pengenaan Biaya Hak Penggunaan (BHP) tetap perlu dijaga sesuai dengan regulasi yang berlaku, untuk memastikan keadilan dalam industri telekomunikasi di tanah air.