Sumber foto: iStock

Starlink di India: Ancaman Baru untuk Raksasa Telekomunikasi atau Peluang Kompetisi Sehat?

Tanggal: 8 Jun 2025 14:39 wib.
Starlink, layanan internet satelit yang dikembangkan oleh SpaceX milik Elon Musk, terus memperluas jangkauannya ke berbagai belahan dunia, termasuk wilayah terpencil yang selama ini sulit terjangkau oleh layanan internet konvensional. Inovasi ini membuka harapan baru untuk akses internet global, namun sekaligus menimbulkan kontroversi yang cukup besar, khususnya di pasar besar seperti India.

Salah satu kekhawatiran utama datang dari para operator telekomunikasi lokal di India, terutama Reliance Jio yang dipimpin oleh konglomerat Mukesh Ambani, serta Bharti Airtel. Kedua perusahaan ini merupakan raksasa dalam industri telekomunikasi India dan telah lama menjadi pemain dominan dalam penyediaan layanan internet dan telepon seluler. Hadirnya Starlink yang mampu memberikan koneksi internet langsung ke ponsel melalui teknologi direct-to-cell dianggap sebagai ancaman serius bagi bisnis mereka.

Persoalan utama muncul dari cara pemerintah India mengatur spektrum frekuensi internet satelit. Reliance Jio sebelumnya menginginkan spektrum tersebut dialokasikan melalui mekanisme lelang, karena ini akan menguntungkan mereka sebagai pemain lokal yang sudah berinvestasi besar-besaran di sektor telekomunikasi India. Namun, pemerintah mengambil langkah berbeda dengan menggunakan mekanisme lisensi, yang memberi ruang lebih luas bagi pemain asing, termasuk Starlink, untuk masuk ke pasar dengan lebih mudah.

Langkah ini diikuti tren global yang menganggap spektrum frekuensi sebagai sumber daya alam yang harus dibagi secara lebih terbuka antar perusahaan. Pendekatan lisensi memungkinkan perusahaan asing mendapatkan akses dengan biaya yang lebih rendah dibandingkan dengan metode lelang yang biasanya memerlukan pembayaran di muka dalam jumlah besar. Inilah yang membuat Reliance Jio dan Bharti Airtel merasa dirugikan.

Kelompok yang mewakili kedua perusahaan tersebut mengungkapkan kekhawatiran mereka bahwa harga spektrum satelit yang terlalu rendah justru menguntungkan pemain asing seperti Starlink. Dalam sebuah surat resmi yang dikirim ke Kementerian Telekomunikasi India pada akhir Mei 2025, Asosiasi Operator Seluler India meminta agar tarif spektrum untuk layanan satelit setara dengan tarif spektrum untuk layanan telekomunikasi konvensional. Mereka menilai layanan yang ditawarkan serupa dan menyasar konsumen yang sama, sehingga wajar bila biaya spektrum yang dibebankan juga seimbang.

Sebagai gambaran, pada Mei 2025, regulator telekomunikasi India mengusulkan agar penyedia layanan satelit membayar royalti sebesar 4% dari pendapatan tahunan mereka sebagai imbalan menggunakan spektrum. Namun, jika dibandingkan dengan biaya yang sudah dikeluarkan oleh operator lokal seperti Reliance Jio dan Bharti Airtel yang mencapai sekitar 21% dari pendapatan karena biaya lelang spektrum yang tinggi, jelas ada ketimpangan yang signifikan. Operator lokal merasa bahwa mereka harus membayar jauh lebih mahal untuk sumber daya spektrum yang sama, yang tentu dapat memengaruhi daya saing mereka.

Starlink sendiri diketahui aktif melakukan lobi kepada pemerintah India untuk mengadopsi mekanisme lisensi alih-alih lelang spektrum. Mereka menegaskan bahwa spektrum merupakan sumber daya alam yang harus dibagi secara adil antar penyedia layanan tanpa membebankan biaya yang memberatkan. Pendekatan ini juga sejalan dengan kebijakan global di beberapa negara yang mulai membuka pintu lebih lebar untuk layanan internet berbasis satelit.

Situasi ini menarik perhatian sejumlah pejabat tinggi pemerintah India. Beberapa sumber yang dekat dengan proses pengambilan keputusan menyampaikan bahwa Kementerian Telekomunikasi masih melakukan kajian ulang terkait usulan tarif spektrum tersebut. Kekhawatiran dari para operator tradisional telah menjadi bahan pertimbangan penting, terutama mengingat investasi besar yang telah mereka lakukan untuk pengembangan jaringan 5G dan layanan broadband selama beberapa tahun terakhir.

Reliance Jio, misalnya, telah menggelontorkan dana hampir 20 miliar dolar AS atau sekitar 325 triliun rupiah dalam beberapa tahun terakhir untuk memperoleh spektrum frekuensi 5G melalui proses lelang. Investasi ini digunakan untuk membangun infrastruktur telekomunikasi yang mampu memenuhi kebutuhan data dan komunikasi masyarakat India yang sangat besar.

Meski begitu, tidak dapat dipungkiri bahwa Starlink menawarkan teknologi yang berbeda dan berpotensi melengkapi jaringan yang ada. Pada Maret 2025, Reliance Jio dan Bharti Airtel bahkan menandatangani kesepakatan distribusi peralatan Starlink, sebuah langkah yang menunjukkan bahwa kedua pihak tetap berupaya mencari jalan tengah di tengah persaingan yang semakin ketat.

Namun, setelah perizinan Starlink rampung, layanan internet satelit ini akan langsung bersaing dengan operator lokal dalam hal menarik pelanggan. Menteri Telekomunikasi India, Jyotiraditya Scindia, menyatakan bahwa proses perizinan Starlink hampir selesai dan perusahaan ini akan segera resmi beroperasi di India.

Secara keseluruhan, kehadiran Starlink di India dapat dilihat sebagai tantangan sekaligus peluang. Bagi operator lokal, ini berarti mereka harus berinovasi dan meningkatkan kualitas layanan agar tetap kompetitif di tengah persaingan baru. Sementara bagi konsumen, adanya lebih banyak pilihan layanan internet—baik berbasis satelit maupun terestrial—berpotensi mendorong harga lebih kompetitif dan akses internet yang lebih luas, terutama di daerah-daerah yang selama ini sulit dijangkau.

Kasus Starlink di India menjadi contoh nyata bagaimana perkembangan teknologi satelit dan regulasi spektrum frekuensi menjadi faktor penting dalam dinamika industri telekomunikasi global. Perdebatan mengenai tarif spektrum yang adil dan setara menjadi sorotan utama demi menjaga ekosistem persaingan yang sehat dan mendorong kemajuan teknologi demi kepentingan masyarakat luas.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved