Spotify Dituding Pelit! Royalti Musisi Kian Menipis Dibanding Apple Music?
Tanggal: 15 Mar 2025 20:58 wib.
Kisruh seputar masalah royalti di industri musik nampaknya bukan fenomena baru, baik di Indonesia maupun di ranah internasional. Berita terbaru mengenai artis Agnez Mo dan Ari Bias di Indonesia sempat mencuat, tetapi faktanya sengketa royalti juga sangat dinamis di sejumlah negara lain.
Salah satu isu yang paling banyak diperbincangkan adalah tuduhan terhadap Spotify, salah satu platform streaming musik terkemuka, yang dianggap tidak adil dalam membayar royalti kepada penyanyi dan penulis lagu.
Sejak awal berdirinya, Spotify mengklaim telah mengeluarkan lebih dari US$ 10 miliar (atau sekitar Rp 164,45 triliun) untuk membayar royalti kepada para artis dan pencipta lagu di seluruh dunia. Angka yang mencolok ini dirilis sebagai respons terhadap berbagai kritik yang menganggap bahwa Spotify lebih pelit dibandingkan kompetitornya, seperti Apple Music.
Dalam satu dekade terakhir, Spotify melaporkan bahwa pembayaran royalti yang mereka berikan meningkat 10 kali lipat. Untuk tahun 2024, diperkirakan bahwa artis yang karyanya mendapatkan 1 dari 1 juta stream dapat memperoleh lebih dari US$ 10.000 (sekitar Rp 164,45 juta).
Namun, cara pembayaran royalti yang diterapkan Spotify menjadi sorotan banyak pihak. Konsep yang mereka gunakan, yang disebut sebagai "streamshare," mengharuskan pembayaran kepada pemilik lagu berdasarkan persentase jumlah stream lagu mereka dibandingkan dengan total stream dalam wilayah tertentu.
Misalnya, apabila lagu milik seorang artis hanya didengarkan sebanyak 1 kali dari total 1.000 stream lagu di bulan tersebut, artis itu berhak mendapatkan US$ 1 dari setiap US$ 1.000 royalti yang dibayarkan. Total royalti yang ditentukan di suatu wilayah bergantung pada jumlah pendapatan dari langganan dan iklan yang diperoleh oleh Spotify di wilayah yang bersangkutan.
Informasi terkait pragmatisme pembayaran royalti ini muncul di tengah hujan kritik dari komunitas artis dan penulis lagu. Beberapa waktu lalu, sejumlah penulis lagu yang telah mendapatkan nominasi Grammy bahkan melakukan boikot terhadap acara yang dihelat oleh Spotify.
Mereka mengekspresikan ketidakpuasan mereka terhadap penurunan jumlah royalti yang mereka terima dari tahun ke tahun. Laporan dari Billboard juga mencengangkan, dengan memperkirakan kerugian yang dialami oleh penulis lagu hingga mencapai US$ 150 juta dalam satu tahun terakhir, disebabkan oleh perubahan perhitungan yang diterapkan oleh platform streaming ini.
Sementara itu, penelitian yang dikeluarkan oleh Duetti menunjukkan bahwa Apple Music ternyata membayar lebih besar dibandingkan Spotify, dengan angka dua kali lipat lebih tinggi. Menurut Duetti, pembayaran per 1.000 stream di beberapa platform musik streaming adalah sebagai berikut: Spotify membayar US$ 3, Amazon Music menawarkan US$ 8,8, Apple Music sebesar US$ 6,2, dan YouTube membayar sekitar US$ 4,8. Data ini menyulut perdebatan sengit dan menambah daftar kritik terhadap Spotify dan sistem pembayaran royalti yang mereka terapkan.
Spotify sendiri membantah tuduhan tersebut dengan alasan bahwa tidak ada satu pun layanan streaming yang menerapkan metode pembayaran royalti per stream yang sederhana.
Menurut mereka, kompleksitas model bisnis dalam industri musik memerlukan pendekatan yang lebih strategis dan tidak dapat diselesaikan dengan angka-angka mudah. Mereka berpendapat bahwa model pembayaran yang ada saat ini adalah hasil dari negosiasi yang panjang dengan berbagai stakeholder, termasuk label rekaman dan musisi.
Di sisi lain, serikat pekerja musisi di Amerika Serikat, yang dikenal dengan akronim UMAW, juga turut melancarkan kritik keras terhadap Spotify. Mereka menilai bahwa tidak ada pembayaran royalti yang diberikan langsung kepada artis rekaman, menyatakan alasan Spotify yang menyatakan bahwa mereka tidak memiliki regulasi yang mengharuskan pembayaran langsung kepada musisi sebagai sebuah keliman belaka. Kritik dari serikat pekerja ini semakin memperkuat narasi bahwa banyak artis merasa dirugikan oleh sistem pembayaran royalti yang diterapkan oleh platform streaming.
Menarik untuk diperhatikan bahwa isu royalti ini mencerminkan tantangan besar bagi industri musik modern. Perkembangan teknologi dan perubahan perilaku konsumen dalam mengakses musik telah menciptakan dinamika yang menantang baik bagi artis maupun penyedia layanan.
Sementara platform streaming menawarkan akses yang lebih luas bagi pendengar, ada pertanyaan mendasar yang tidak dapat dihindari: Apakah sistem royalti saat ini cukup adil untuk mendukung keberlanjutan seni musik dan kebermaknaan bagi para penggiatnya?
Ketidakpuasan yang terus menerus muncul dari kalangan pencipta lagu, penyanyi, dan pemusik menandakan bahwa perubahan mungkin perlu diterapkan dalam cara platform seperti Spotify beroperasi. Tantangan ini bukan hanya menjadi masalah bagi para pemusik, tetapi juga untuk perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam industri musik. Mereka harus mempertimbangkan tidak hanya keuntungan finansial, tetapi juga bagaimana mereka mendukung ekosistem kreatif yang memungkinkan berbagai bentuk seni tumbuh dan berkembang.
Di tengah perdebatan yang berkepanjangan ini, harapan akan keadilan dalam atas royalti dan perlindungan hak pencipta lagu akan terus menjadi sorotan utama. Maka, secara keseluruhan, eksplorasi lebih dalam terhadap topik ini tentu akan menciptakan pemahaman yang lebih baik tentang cara sistem pembayaran royalti berfungsi dan dampaknya terhadap pelaku industri musik. Hal ini tidak hanya akan memberikan jalan bagi dialog yang lebih konstruktif, tetapi juga menciptakan solusi yang lebih inovatif bagi tantangan yang ada.