Sumber foto: Gizmologi.id

Satria-2 di Ujung Tanduk? Pemerintah Pertimbangkan Satelit Baru di Tengah Gempuran Starlink dan Kuiper

Tanggal: 8 Jun 2025 14:39 wib.
Di tengah kemajuan pesat teknologi satelit berbasis low-earth orbit (LEO) seperti Starlink dari SpaceX dan Kuiper milik Amazon, masa depan proyek satelit nasional Satria-2 kini menjadi sorotan publik. Banyak yang mempertanyakan apakah proyek ini masih relevan atau akan tersingkir oleh dominasi raksasa teknologi asing yang mulai melebarkan sayap ke Indonesia.

Sebelumnya, Satria-2 direncanakan mulai dikembangkan pada tahun ini sebagai kelanjutan dari proyek Satria-1 yang diluncurkan untuk menjangkau konektivitas internet di daerah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal). Namun, hingga pertengahan 2025, proyek tersebut belum menunjukkan perkembangan signifikan. Pemerintah pun menyatakan masih dalam tahap kajian ulang.

Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, menegaskan bahwa hingga saat ini, kapasitas Satria-1 masih cukup untuk memenuhi kebutuhan internet di Indonesia. Dalam konferensi pers di kantor Komdigi pada Kamis (5/6/2025), Meutya menyampaikan bahwa proyek Satria-2 belum menjadi prioritas utama, menyusul langkah pemerintah yang kini tengah melakukan reprioritasi program nasional.

“Dengan adanya reprioritasi kebijakan, kami masih mengkaji seberapa mendesak kebutuhan akan Satria-2. Namun untuk saat ini, Satria-1 masih mampu mengakomodasi kebutuhan internet nasional,” ujar Meutya.

Namun, pernyataan ini tidak berarti Satria-2 akan dibatalkan sepenuhnya. Pemerintah masih membuka kemungkinan melanjutkan proyek ini, tergantung pada hasil kajian dan perkembangan teknologi satelit yang terjadi secara global. Apalagi, kebutuhan akan akses internet di wilayah Indonesia yang geografisnya terdiri dari ribuan pulau menuntut pendekatan teknologi yang adaptif dan bervariasi.

Menurut Meutya, ke depan, Indonesia kemungkinan besar tidak akan bergantung pada satu teknologi satelit saja. Ia mengindikasikan bahwa kombinasi dari berbagai jenis satelit—baik itu geostationary (GEO) maupun low-earth orbit (LEO)—akan menjadi solusi ideal untuk mengatasi tantangan konektivitas di negara kepulauan seperti Indonesia.

“Kemungkinan besar kita akan menerapkan pendekatan hybrid, yaitu menggunakan kombinasi berbagai teknologi. Bisa berupa satelit GEO, LEO, atau teknologi satelit lainnya. Tidak bisa hanya mengandalkan satu sistem saja,” paparnya.

Masuknya Starlink ke Indonesia pada tahun lalu menjadi penanda bahwa era internet berbasis satelit LEO telah dimulai di tanah air. Masyarakat, terutama di daerah terpencil, sudah mulai merasakan manfaat dari kecepatan dan stabilitas koneksi internet yang ditawarkan oleh teknologi ini.

Kini, Kuiper dari Amazon juga mulai menunjukkan keseriusannya untuk beroperasi di Indonesia. Tim dari Amazon bahkan telah bertemu langsung dengan Meutya Hafid untuk membicarakan rencana investasi dan pengajuan izin operasional Kuiper di wilayah Indonesia. Meski hingga Maret 2025 izin operasionalnya belum diterbitkan, namun Meutya menyambut baik langkah proaktif dari pihak Amazon.

“Saya mengapresiasi keterbukaan Amazon Kuiper yang sejak awal sudah menyampaikan rencana-rencana investasinya di Indonesia. Ini menunjukkan komitmen mereka yang positif terhadap kerja sama jangka panjang,” ungkap Meutya.

Persaingan di industri satelit ini tentu akan membawa pengaruh besar terhadap kebijakan pemerintah dalam pengembangan infrastruktur digital. Di satu sisi, Indonesia membutuhkan konektivitas yang cepat dan merata hingga pelosok. Di sisi lain, ketergantungan pada perusahaan asing untuk layanan esensial seperti internet memunculkan tantangan baru, terutama dalam hal kedaulatan data dan pengamanan jaringan nasional.

Di sinilah posisi Satria-2 menjadi krusial. Meski proyek ini saat ini belum menjadi prioritas, keberadaan satelit nasional seperti Satria tetap memiliki peran strategis dalam menjaga kemandirian digital bangsa. Pemerintah tentu harus menyeimbangkan antara efisiensi dan ketahanan teknologi nasional dalam menghadapi gempuran pemain asing.

Lebih jauh, perkembangan teknologi digital di Indonesia tidak hanya ditentukan oleh hadirnya perangkat keras seperti satelit. Infrastruktur pendukung, sumber daya manusia, serta regulasi yang tepat juga akan menentukan keberhasilan transformasi digital nasional. Oleh karena itu, keputusan pemerintah terkait masa depan Satria-2 akan menjadi indikator penting arah kebijakan digital Indonesia ke depan.

Dengan kondisi yang terus berkembang, publik kini menunggu langkah selanjutnya dari Kementerian Komunikasi dan Digital. Apakah Satria-2 akan dilanjutkan sebagai bentuk kemandirian digital, atau justru digantikan oleh kemitraan strategis dengan perusahaan teknologi global?

Yang pasti, tantangan untuk menyediakan akses internet yang merata, cepat, dan aman bagi seluruh rakyat Indonesia masih jauh dari selesai. Dibutuhkan keputusan yang tepat, berani, dan berpihak pada kepentingan nasional agar Indonesia tidak hanya menjadi konsumen teknologi, tetapi juga mampu menjadi pemain di dalamnya.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved