Saat China Menyalip Amerika: Ambisi Diam-Diam Negeri Tirai Bambu Kuasai Dunia AI
Tanggal: 30 Jun 2025 10:05 wib.
Persaingan teknologi antara dua raksasa dunia, China dan Amerika Serikat (AS), kini semakin memanas—terutama dalam bidang kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI). Kemajuan AI dari perusahaan-perusahaan asal China belakangan ini membuat AS, termasuk OpenAI sebagai salah satu pemimpin industri AI global, mulai mengkhawatirkan potensi dominasi China di sektor teknologi masa depan ini.
Salah satu perhatian utama OpenAI tertuju pada Zhipu AI, sebuah startup teknologi asal China yang dinilai berkembang sangat pesat. Dalam laporan internalnya, OpenAI menyebut bahwa Zhipu AI telah menunjukkan kemajuan luar biasa, terutama dalam mengamankan berbagai kontrak pemerintah di negara-negara strategis. Hal ini dinilai sebagai langkah konkret China dalam memperluas pengaruh teknologinya di panggung global, khususnya di pasar negara berkembang.
OpenAI menyatakan bahwa Zhipu AI, yang diketahui mendapat dukungan dari Partai Komunis China, memiliki tujuan besar: mengunci sistem dan standar AI buatan China ke berbagai negara berkembang sebelum Amerika Serikat atau Eropa sempat mengambil posisi dominan. Strategi ini menunjukkan pendekatan jangka panjang yang terorganisir dari pemerintah China dalam menyebarkan pengaruh teknologinya secara global.
Selain itu, China juga secara aktif mempromosikan model AI yang diklaim "bertanggung jawab", "transparan", dan "siap diaudit" ke komunitas internasional. Retorika ini seolah ingin menepis kekhawatiran global atas teknologi AI otoriter yang diawasi ketat oleh pemerintah. Namun, di balik narasi tersebut, ada kekhawatiran dari negara-negara Barat bahwa dominasi AI China dapat membawa nilai-nilai kontrol yang tidak sejalan dengan demokrasi dan privasi.
Menurut laporan Reuters yang dikutip pada 26 Juni 2025, Zhipu AI tidak hanya berkembang secara teknologi, tetapi juga secara geopolitik. Perusahaan ini menjalin kerja sama dengan Huawei untuk menyuplai infrastruktur AI berskala besar kepada pemerintah dan perusahaan milik negara di berbagai negara seperti Malaysia, Singapura, Uni Emirat Arab (UEA), Arab Saudi, dan Kenya.
Kerja sama tersebut meliputi penyediaan model bahasa besar (large language models), solusi perangkat keras pribadi, dan sistem AI lokal yang disesuaikan dengan kebutuhan negara mitra. Ini bukan hanya tentang ekspansi bisnis—melainkan juga bagian dari strategi besar China untuk menciptakan ekosistem AI global yang independen dari teknologi AS.
Zhipu AI merupakan bagian dari ekosistem AI China yang lebih luas, yang didukung oleh investasi negara lebih dari US$1,4 miliar. Mereka bukan satu-satunya pemain penting. Nama-nama seperti DeepSeek, Moonshot AI, Minimax, serta perusahaan teknologi raksasa seperti ByteDance dan Alibaba juga ikut membangun kekuatan AI nasional China yang semakin tangguh dan mandiri.
Namun, perkembangan pesat Zhipu AI tak luput dari perhatian Amerika. Pada Januari 2025, Kementerian Perdagangan AS memasukkan Zhipu AI ke dalam daftar entitas yang dilarang melakukan ekspor dan impor teknologi dari dan ke AS. Artinya, Zhipu AI tidak lagi memiliki akses langsung ke komponen teknologi buatan Amerika, termasuk chip dan perangkat keras penting lainnya.
Kendati dibatasi, langkah ini belum tentu memperlambat perkembangan AI China. Justru, hal ini semakin mendorong mereka untuk mempercepat penciptaan sistem mandiri yang tidak tergantung pada teknologi Barat. Hal ini sejalan dengan ambisi jangka panjang China untuk menjadi pemimpin AI global dan mengurangi dominasi teknologi Amerika di masa depan.
Sementara itu, OpenAI sendiri tidak tinggal diam. Mereka meluncurkan inisiatif "OpenAI for Countries" untuk memperluas pengaruhnya di kawasan Timur Tengah dan Asia. Inisiatif ini bertujuan membantu negara-negara mitra membangun kapabilitas AI berdaulat dengan menggunakan teknologi OpenAI—tentu saja, sembari tetap terkoordinasi dengan pemerintah AS. Ini menjadi salah satu cara Amerika Serikat untuk mempertahankan pengaruhnya di tengah gempuran ekspansi AI China.
Ketegangan antara China dan AS di ranah AI ini mencerminkan konflik geopolitik yang lebih luas. Keduanya sudah lama terlibat dalam perang dagang dan kebijakan saling blokir yang memengaruhi berbagai sektor, mulai dari semikonduktor hingga komoditas penting lainnya. AI kini menjadi babak baru dalam rivalitas strategis dua kekuatan ekonomi terbesar dunia tersebut.
Persaingan ini bukan sekadar soal bisnis atau teknologi. Di baliknya terdapat pertarungan nilai dan sistem pemerintahan. AI bukan hanya alat, tetapi juga bisa menjadi kendaraan untuk menyebarkan nilai-nilai sosial, politik, dan ekonomi. Dengan dominasi AI, sebuah negara bisa menentukan bagaimana data dikumpulkan, diproses, dan digunakan—baik untuk inovasi, pengawasan, maupun pengaruh politik.
Jika China berhasil memosisikan sistem AI-nya sebagai standar di banyak negara, maka dominasi teknologi bukan lagi milik Barat. Inilah yang membuat kekhawatiran OpenAI bukan sekadar alarm teknologi, tapi juga panggilan waspada geopolitik.
Zhipu AI mungkin baru satu nama dari sekian banyak, tetapi kehadirannya saat ini menjadi simbol bahwa dominasi teknologi tak lagi mutlak berada di tangan Barat. Dunia tengah menyaksikan bagaimana AI menjadi senjata baru dalam pertarungan kekuatan global.