Robotaxi Merajalela! Akankah Sopir Online Terancam Punah?
Tanggal: 1 Mar 2025 17:58 wib.
Perkembangan teknologi kendaraan tanpa awak atau autonomous vehicle (AV) terus menunjukkan kemajuan yang signifikan, melibatkan produsen otomotif serta perusahaan teknologi raksasa di berbagai belahan dunia. Negara-negara seperti Amerika Serikat (AS), China, Uni Emirat Arab (UEA), dan Singapura menjadi pelopor dalam pengujian mobil yang dapat beroperasi tanpa pengemudi.
Dampak dari tren ini muncul dengan hadirnya wajah-wajah baru di industri otomotif, khususnya dalam sektor taksi otomatis atau robotaxi. Beberapa perusahaan yang paling menonjol dalam bidang ini antara lain Waymo, Cruise, Didi Chixing, Baidu Apollo, dan Tesla.
China menjadi salah satu negara dengan ambisi besar dalam membangun proyek robotaxi dan kendaraan tanpa pengemudi. Sebuah pengumuman terbaru menyebutkan bahwa Baidu, raksasa mesin pencari asal Tiongkok, bekerja sama dengan CATL, perusahaan penyedia baterai untuk mobil listrik terkemuka, dalam usaha pengembangan kendaraan tanpa sopir yang bersaing di pasar. Kesepakatan antara kedua perusahaan ini, yang diumumkan pada Kamis, 27 Februari, menekankan pengembangan teknologi intelijen digital dan mobil otomatis.
Lebih lanjut, kolaborasi ini akan melibatkan pengembangan kemampuan daya baterai CATL, layanan pencadangan baterai, serta teknologi chassis yang diperlukan untuk kendaraan otomatis. Hal ini menunjukkan komitmen kedua perusahaan dalam mengeksplorasi potensi besar industri kendaraan otonom yang terus berkembang.
Laporan dari Reuters menunjukkan bahwa hingga tahun 2024, terdapat 19 kota di China yang sudah melakukan uji coba robotaxi dan robobus. Di antara perusahaan-perusahaan yang memimpin inovasi dalam sektor ini adalah Apollo Go, Pony.ai, WeRide, AutoX, dan SAIC Motor. Apollo Go, misalnya, berambisi untuk mengoperasikan 1.000 robotaxi di Wuhan pada akhir tahun ini dan berencana untuk ekspansi ke 100 kota di seluruh China pada tahun 2030.
Selain itu, Pony.ai yang mendapatkan dukungan dari Toyota Motor dari Jepang juga menargetkan untuk meningkatkan jumlah robotaxi-nya dari 300 unit saat ini menjadi 1.000 unit pada 2026. Mereka mencatat bahwa diperlukan waktu sekitar lima tahun untuk mencapai keuntungan yang berkelanjutan dari operasional robotaxi, setelah itu baru dapat melakukan ekspansi secara signifikan.
WeRide merupakan salah satu perusahaan yang berkecimpung dalam sektor taksi otomatis, bus, dan penyapu jalan. Sementara itu, AutoX yang mendapat backing dari Alibaba Group telah memulai operasionalnya di kota-kota besar seperti Beijing dan Shanghai. SAIC mengawali operasional robotaxi sejak akhir tahun 2021 dan menunjukkan komitmen mereka dalam menghadirkan inovasi di bidang transportasi.
Seiring dengan itu, Managing Director Boston Consulting Group, Augustin Wegscheider, menuturkan bahwa China telah mengalami percepatan dalam pengembangan teknologi kendaraan otonom, hal ini didorong oleh kemudahan dalam memperoleh izin uji coba. Di sisi lain, negara-negara seperti AS cenderung mengambil pendekatan lebih bertahap dalam penerapan taksi otomatis.
Waymo, yang merupakan anak perusahaan Alphabet, adalah satu-satunya perusahaan yang saat ini mengelola robotaxi di AS. Dengan memiliki sekitar 1.000 kendaraan yang beroperasi di San Francisco, Los Angeles, dan Phoenix, Waymo berpotensi terus memperluas jangkauannya. Di sisi lain, Cruise, yang didukung oleh General Motors, sempat menangguhkan operasionalnya setelah salah satu kendaraan mereka terlibat insiden di area pejalan kaki, namun mereka kini berkomitmen untuk lebih fokus pada aspek keamanan di tiga kota besar.
Kendati begitu, perdebatan mengenai masalah keselamatan kendaraan otonom masih berlangsung, terutama di AS, di mana pengembang robotaxi sering menghadapi kritik menyangkut tingkat keamanan yang lebih tinggi. Meskipun di China juga tak lepas dari isu keamanan, pemerintah setempat lebih responsif dalam memberikan izin untuk pengujian guna mendukung pertumbuhan ekonomi.
Di balik kemajuan teknologi ini, terdapat sekitar 7 juta sopir online terdaftar di China. Angka ini menunjukkan peningkatan yang signifikan dari sebelumnya yang hanya mencatat sekitar 4,4 juta sopir dalam dua tahun terakhir.
Banyak di antara mereka yang beralih ke pekerjaan sebagai sopir online akibat tantangan yang dihadapi dalam bursa kerja, terutama di tengah kondisi ekonomi yang tidak stabil. Kehadiran robotaxi pun menciptakan kekhawatiran baru di kalangan para pekerja ini terkait dengan keberlangsungan mata pencaharian mereka.
Pada bulan Juli yang lalu, isu terkait kehilangan pekerjaan akibat kemunculan robotaxi menjadi perbincangan hangat di media sosial. Pertanyaan mengenai apakah mobil tanpa sopir akan mengambil alih pekerjaan sopir taksi menjadi sorotan utama. Liu Yi, seorang sopir online berusia 36 tahun asal Wuhan, merupakan salah satu orang yang merasakan dampak dari perubahan ini.
Ia mulai bekerja paruh waktu sebagai sopir online tahun ini, dan kini ia merasa cemas dengan kehadiran sistem Full Self-Driving (FSD) milik Tesla yang mungkin mempercepat 'kiamat' bagi para sopir online seperti dirinya.
Tak hanya Liu, seorang sopir berusia 63 tahun bernama Wang Guoqiang, juga merasakan dampak revolusi teknologi ini. Ia berpendapat bahwa ride-hailing adalah pekerjaan yang diperuntukkan bagi kelas bawah dan berujar, "Jika Anda membunuh industri ini, apa yang tersisa bagi kami?" Keresahan yang dialami Liu, Wang, dan ribuan sopir online lainnya menggambarkan gambaran suram yang mungkin akan mereka hadapi seiring teknologi kendaraan otonom semakin menguasai pasar transportasi.