Robotaxi Mengancam Pekerjaan Ojol? Ekspansi Diam-diam Raksasa Teknologi AS-China Siap Guncang Dunia!
Tanggal: 21 Mei 2025 19:07 wib.
Perkembangan teknologi mobil tanpa pengemudi atau autonomous vehicles (AV) kian menggila dan menunjukkan persaingan yang makin ketat antara perusahaan teknologi dari China dan Amerika Serikat (AS). Kedua negara ini tampaknya tidak ingin ketinggalan dalam perlombaan menghadirkan layanan transportasi masa depan yang disebut sebagai robotaxi atau taksi otomatis tanpa sopir.
Salah satu kabar terbaru datang dari startup asal China, WeRide, yang pada minggu ini resmi mengumumkan kemitraan strategis bersama Tencent Cloud. Tujuannya jelas: mempercepat pengoperasian robotaxi secara komersial dalam skala besar. Tak hanya menyasar pasar lokal di China, kolaborasi ini juga ditujukan untuk penetrasi pasar global.
Menurut laporan dari Reuters yang dirilis pada Rabu, 21 Mei 2025, Tencent menyatakan bahwa unit cloud mereka akan memanfaatkan kekuatan infrastruktur global serta pengalaman operasional yang dimiliki untuk menyediakan layanan cloud yang sesuai regulasi di luar negeri. Layanan ini ditujukan bagi WeRide dalam mendirikan jaringan operasi kendaraan otonom yang andal, efisien, dan stabil di berbagai negara.
Pernyataan ini menandai langkah besar WeRide untuk tak sekadar menjadi pemain lokal, tapi berambisi mendunia. WeRide terlihat agresif dalam memperluas cakupan layanan, dan langkah ini tentu menimbulkan berbagai proyeksi, termasuk soal dampaknya terhadap sektor pekerjaan transportasi tradisional.
Kolaborasi WeRide dan Tencent bukan satu-satunya berita besar di sektor kendaraan otonom. Pada awal Mei 2025, Uber – raksasa transportasi asal AS – mengumumkan telah menyuntikkan investasi senilai US$100 juta kepada WeRide. Dana tersebut dialokasikan untuk membangun dan mengembangkan ekosistem robotaxi di sejumlah kota di Eropa dan Amerika Serikat.
Faktanya, Uber dan WeRide bukanlah mitra baru. Kemitraan ini dimulai sejak tahun 2024, saat keduanya bersama-sama meluncurkan layanan robotaxi komersial di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Dari sana, kolaborasi mereka terus berkembang, menandai era baru dalam dunia transportasi global.
Namun di balik kemajuan pesat ini, tersimpan kekhawatiran yang sangat nyata: potensi hilangnya pekerjaan bagi para pengemudi online, seperti ojek online (ojol) dan taksi konvensional. Semakin banyak wilayah yang mengizinkan pengoperasian mobil tanpa sopir, semakin besar kemungkinan profesi driver akan tergerus oleh teknologi.
Kekhawatiran ini tidak hanya dirasakan oleh pekerja transportasi di negara maju, tapi juga di negara berkembang seperti Indonesia. Meskipun saat ini layanan robotaxi belum hadir secara resmi di tanah air, ekspansi besar-besaran oleh perusahaan China dan AS bisa saja menjadikan Indonesia sebagai target pasar berikutnya. Jika hal itu terjadi, maka tantangan besar akan muncul, terutama dalam aspek regulasi dan kesiapan infrastruktur.
Perlu diketahui, perkembangan pesat robotaxi di China dipicu oleh sistem regulasi yang lebih longgar dan mendukung inovasi teknologi. Pemerintah setempat cenderung memberikan kemudahan dalam pengujian dan peluncuran kendaraan otonom. Sebaliknya, di Amerika Serikat, aturan terkait kendaraan otonom jauh lebih ketat. Perusahaan teknologi di sana harus melewati berbagai tahapan uji coba dan memenuhi syarat keselamatan sebelum bisa mengoperasikan robotaxi secara komersial.
Hingga saat ini, baru Waymo, anak usaha dari Google, yang berhasil mendapatkan izin komersial untuk layanan robotaxi di beberapa wilayah Amerika Serikat. Sementara itu, Tesla yang selama ini dikenal sebagai pelopor kendaraan listrik masih dalam tahap pengajuan izin layanan serupa.
Dengan peta persaingan seperti ini, kita bisa melihat bahwa dunia tengah berada dalam masa transisi menuju era kendaraan pintar. Robotaxi bukan lagi sekadar konsep futuristik, melainkan solusi nyata yang mulai mengaspal di jalanan kota besar dunia. Tidak menutup kemungkinan dalam 5–10 tahun ke depan, layanan ini akan menyentuh berbagai lapisan masyarakat di seluruh penjuru dunia, termasuk Asia Tenggara.
Indonesia sebagai negara dengan tingkat penggunaan transportasi daring yang tinggi tentu tidak akan bisa menghindar dari gelombang besar ini. Cepat atau lambat, kehadiran robotaxi bisa mengubah lanskap industri transportasi, menantang eksistensi driver ojol yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi digital lokal.
Meski demikian, kehadiran teknologi seharusnya tidak serta-merta menjadi ancaman. Justru, tantangan ini bisa dijadikan peluang jika pemerintah, perusahaan, dan masyarakat mau beradaptasi dan mempersiapkan langkah antisipatif. Salah satunya adalah dengan membentuk regulasi yang tepat guna, menciptakan ekosistem pelatihan ulang (reskilling) bagi para pekerja terdampak, dan mendorong kolaborasi lokal dengan perusahaan global.
Kini dunia sedang menyaksikan persaingan antara dua kekuatan besar: AS dan China, yang berebut dominasi dalam sektor kendaraan otonom. Siapa yang lebih siap dan siapa yang lebih cepat menaklukkan pasar global akan menentukan arah masa depan mobilitas kita.
Indonesia pun tak bisa tinggal diam. Pertanyaan besarnya adalah: apakah kita siap menyambut kedatangan mobil tanpa sopir ini, atau justru akan tertinggal jauh di belakang?