Robotaxi Dibakar dan Dicap ‘Ancaman Pekerjaan’: Mengapa Waymo Tetap Melaju di Tengah Aksi Protes Brutal?
Tanggal: 23 Jun 2025 11:56 wib.
Pada pekan lalu, suasana di Los Angeles, Amerika Serikat, memanas akibat aksi demonstrasi dari kelompok yang menentang ICE (Immigration and Customs Enforcement). Massa yang beringas melampiaskan amarahnya pada teknologi transportasi masa depan, yakni robotaxi—layanan taksi tanpa sopir milik Waymo. Sejumlah unit kendaraan otonom dibakar hingga hangus, memaksa perusahaan untuk menangguhkan sementara layanannya di wilayah tersebut.
Namun, langkah Waymo tak terhenti oleh insiden tersebut. Perusahaan tetap optimis dan terus memperluas operasinya, bahkan ketika publik menyuarakan kekhawatiran bahwa kehadiran robotaxi bisa menjadi ‘kiamat’ bagi para pengemudi ojek dan taksi online. Mereka meyakini bahwa otomatisasi dapat merampas mata pencaharian banyak orang.
Waymo, sebagai pionir teknologi kendaraan otonom milik Alphabet (induk perusahaan Google), mengumumkan bahwa mulai tanggal 17 Juni lalu, masyarakat bisa menikmati layanan taksi robotnya di lebih banyak wilayah di Semenanjung San Francisco. Lokasi-lokasi baru tersebut mencakup Brisbane, bagian selatan San Francisco, San Bruno, Milbrae, dan Burlingame. Selain itu, pengguna di Palo Alto dan Menlo Park kini sudah bisa memesan taksi Waymo langsung dari aplikasi, menandai babak baru dalam penetrasi pasar kendaraan otonom.
Perluasan wilayah ini tidak berhenti di situ. Mulai tanggal 18 Juni 2025, Waymo akan mulai beroperasi di area-area tambahan seperti Playa del Rey, Ladera Heights, Echo Park, Silver Lake, dan sebagian dari Sunset Boulevard. Dengan ekspansi tersebut, jangkauan layanan Waymo di wilayah California kini mencapai 250 mil persegi (sekitar 647 kilometer persegi), meningkat dari sebelumnya dengan tambahan 80 mil persegi (207 kilometer persegi) untuk kawasan baru.
Selain memperkuat posisi di California, Waymo juga bersiap untuk memperluas ke kota-kota lain, termasuk Austin dan Atlanta. Ekspansi ke dua kota ini dilakukan dalam kemitraan dengan Uber, membuka peluang integrasi antara teknologi transportasi otonom dan platform ride-hailing yang sudah akrab bagi masyarakat.
Meski ekspansi berjalan, kekhawatiran dari berbagai lapisan masyarakat terhadap keberadaan kendaraan otonom tak bisa dihindari. Demonstrasi yang berujung kekerasan menjadi puncak dari kekecewaan sebagian warga, terutama mereka yang merasa bahwa teknologi ini akan memperparah ketimpangan sosial dan ekonomi. Kehadiran robotaxi dinilai sebagai ancaman nyata terhadap stabilitas pekerjaan di sektor transportasi konvensional.
Aksi protes brutal di Los Angeles menjadi bukti nyata penolakan publik terhadap otomatisasi ekstrem. Insiden bermula sekitar pukul 17.00 waktu setempat ketika lima unit robotaxi Waymo dikepung oleh sekelompok demonstran. Mereka merusak kendaraan dengan merobek ban, memecahkan kaca jendela, serta menyemprotkan grafiti bertuliskan pesan-pesan anti-ICE di badan mobil. Tiga dari lima kendaraan kemudian dibakar hingga tinggal kerangka.
Tak berhenti sampai di situ, kerumunan juga mencongkel pintu kendaraan, menginjak-injak kaca depan, dan melumpuhkan fitur keselamatan kendaraan. Dalam satu momen yang terekam kamera, seorang pria bertopeng memukul kaca depan mobil menggunakan papan luncur, sementara demonstran lain menyulut api ke dalam kabin mobil menggunakan penyembur api darurat. Asap pekat membumbung tinggi di langit kota, menyimbolkan kemarahan yang mendalam terhadap arah perkembangan teknologi yang dinilai tidak manusiawi.
Kejadian ini menimbulkan perdebatan luas di media sosial dan ruang publik. Di satu sisi, Waymo dianggap sebagai lambang kemajuan teknologi dan efisiensi mobilitas urban. Di sisi lain, banyak pihak menilai bahwa revolusi teknologi tanpa pertimbangan sosial dapat memicu ketimpangan dan meminggirkan kelompok rentan.
Waymo belum mengeluarkan pernyataan resmi soal apakah mereka akan memperketat keamanan operasionalnya di daerah-daerah rawan konflik sosial. Namun dari tindakan yang terlihat, perusahaan tampaknya tetap berkomitmen melanjutkan ekspansi dan inovasi. Hal ini tentu akan memicu pertanyaan lebih lanjut: sejauh mana masyarakat akan menerima kendaraan otonom? Dan bagaimana pemerintah menyikapi potensi gejolak sosial akibat disrupsi teknologi ini?
Para pengamat menyebutkan bahwa diperlukan pendekatan yang lebih inklusif untuk menyatukan kepentingan antara kemajuan teknologi dan keberlanjutan sosial. Teknologi tidak boleh berjalan sendiri tanpa memperhatikan dampaknya terhadap pekerja, komunitas lokal, serta nilai-nilai kemanusiaan.
Waymo kini berada di persimpangan jalan penting. Mereka memiliki peluang besar untuk menjadi pemimpin di industri kendaraan otonom global, namun juga menghadapi tantangan besar dari sisi etika dan penerimaan masyarakat. Respons perusahaan terhadap insiden seperti di Los Angeles akan menjadi tolok ukur seberapa siap mereka menjalankan inovasi dengan tanggung jawab sosial.
Apakah robotaxi benar-benar membawa solusi masa depan atau justru menjadi sumber konflik sosial baru? Jawabannya akan tergantung pada bagaimana kolaborasi antara teknologi, masyarakat, dan kebijakan publik dikembangkan ke depan.