Robot vs Manusia: Bos Foxconn Prediksi Pekerja Bergaji Rendah Akan Tergusur Total oleh AI dan Otomasi
Tanggal: 23 Mei 2025 07:00 wib.
Di tengah kemajuan teknologi yang melaju pesat, peringatan datang dari pimpinan perusahaan manufaktur terbesar dunia. Chairman Foxconn, Young Liu, secara terbuka menyatakan bahwa tenaga kerja manusia bergaji rendah akan segera tergeser oleh robot dan kecerdasan buatan (AI). Pernyataan ini disampaikan dalam pidatonya pada ajang Computex 2025 yang berlangsung di Taipei, dan menjadi sorotan utama dunia industri.
Menurut laporan yang dikutip dari The Register, Liu menjelaskan bahwa 80% pekerjaan konfigurasi alat produksi kini sudah bisa diambil alih oleh perangkat lunak berbasis AI. Tidak hanya lebih cepat, sistem AI ini juga bekerja dengan akurasi yang lebih konsisten dibandingkan manusia, terutama dalam hal instalasi dan penyesuaian sistem pabrik.
Kolaborasi Otak dan Mesin: Efisiensi Tanpa Batas
Meskipun belum sepenuhnya menggantikan tenaga manusia, Liu menekankan bahwa perpaduan antara kecerdasan manusia dan kecanggihan robot sudah cukup untuk meningkatkan efisiensi secara signifikan di lantai produksi. Dalam pernyataannya yang dikutip dari 9to5Mac pada Kamis (22 Mei 2025), Liu mengatakan:
"Perpaduan antara otak dan robot memang belum bisa menyingkirkan semua peran manusia. Kami telah mencobanya. Tapi teknologi ini berhasil mempercepat pemecahan masalah di pabrik dengan luar biasa."
Pernyataan ini mempertegas bahwa transisi menuju otomasi total bukan sekadar kemungkinan, tetapi sudah mulai menjadi kenyataan di lapangan. Foxconn sebagai raksasa manufaktur iPhone menjadi bukti nyata dari implementasi teknologi AI secara besar-besaran dalam dunia produksi.
Negara Berkembang di Ujung Tanduk
Namun, kemajuan ini datang dengan konsekuensi besar, terutama bagi negara-negara yang ekonominya masih bergantung pada tenaga kerja murah. Liu memperingatkan bahwa negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) rendah akan merasakan dampak paling besar dari otomasi ini. Ketika negara-negara menjadi lebih sejahtera, posisi pekerjaan berupah rendah akan semakin terancam oleh AI generatif dan sistem robotika.
Liu menyebut fenomena ini sebagai tantangan serius bagi negara-negara berkembang maupun maju. Ia pun mengajak para pemimpin dunia untuk mengamati perkembangan teknologi ini secara cermat dan mulai menyusun strategi jangka panjang yang mampu melindungi pasar kerja domestik mereka.
"Saya pikir ini adalah tantangan nyata bagi semua negara. Para pemimpin perlu mencermati tren ini dengan sangat hati-hati dan mengambil langkah strategis sejak sekarang," ujar Liu.
FoxBrain: AI Buatan Foxconn yang Siap Mengubah Industri
Menariknya, Foxconn tidak sekadar mengandalkan teknologi dari luar. Perusahaan asal Taiwan itu kini tengah mengembangkan model AI sendiri, yang merupakan versi modifikasi dari Llama 3 dan Llama 4 buatan Meta. Proyek ini dinamakan FoxBrain dan difokuskan untuk menangani tugas-tugas teknis spesifik di lingkungan pabrik.
FoxBrain dirancang untuk memaksimalkan efisiensi dan mengurangi kesalahan dalam proses manufaktur yang sangat kompleks. Liu juga mengungkap bahwa Foxconn berniat membuka akses open source untuk teknologi ini, meski belum ada tanggal rilis resmi yang diumumkan.
Langkah ini bisa menjadi game changer di industri manufaktur global. Dengan AI yang dikembangkan secara khusus untuk tugas-tugas pabrik, Foxconn berpotensi menciptakan ekosistem otomasi yang jauh lebih terintegrasi dan efisien dibanding kompetitornya.
Dampaknya pada Apple dan Strategi Produksi Global
Sebagai mitra utama Apple dalam proses perakitan iPhone, langkah Foxconn tentu berpengaruh besar terhadap strategi produksi perusahaan asal Cupertino tersebut. Hingga saat ini, China masih menjadi lokasi utama perakitan iPhone berkat efisiensi produksi, skala besar, dan biaya tenaga kerja yang relatif murah.
Namun, Apple sendiri mulai mendiversifikasi lokasi produksinya ke negara-negara seperti India, Vietnam, dan Brasil. Jika AI dan robot mulai mendominasi proses manufaktur, maka ketergantungan Apple terhadap tenaga kerja murah di China bisa mulai dikurangi.
Situasi ini menciptakan peluang baru bagi Apple untuk mengeksplorasi negara-negara dengan biaya tenaga kerja lebih tinggi, tanpa harus khawatir pada peningkatan biaya operasional yang signifikan. Namun, tantangan tetap ada, karena ekosistem manufaktur China sangat kompleks dan masih sulit ditandingi oleh negara lain.
Masa Depan Industri: Manusia, Robot, dan Realitas Baru
Pernyataan Young Liu membuka mata banyak pihak bahwa otomasi bukan sekadar masa depan, melainkan sudah menjadi masa kini. AI dan robotika tidak hanya mempercepat produksi, tetapi juga mulai menggantikan posisi manusia dalam banyak aspek teknis.
Namun, perubahan ini bukan tanpa risiko. Selain potensi pengangguran massal, negara-negara berkembang harus mulai menyusun strategi untuk mengadaptasi tenaga kerja mereka ke era digital. Investasi dalam pendidikan teknologi, pelatihan AI, dan pengembangan skill digital menjadi kunci agar masyarakat tidak tertinggal dalam revolusi industri generasi keempat ini.
Di satu sisi, inovasi seperti FoxBrain bisa menciptakan efisiensi dan membuka jalan bagi kemajuan. Tapi di sisi lain, ia juga bisa menjadi ancaman serius bagi sistem kerja konvensional. Perusahaan dan pemerintah perlu berkolaborasi untuk menciptakan keseimbangan antara efisiensi dan keberlanjutan sosial.
Dengan arah perkembangan teknologi yang semakin cepat, dunia kini menghadapi dilema besar: mengikuti arus revolusi teknologi atau tenggelam oleh gelombangnya. Yang jelas, perubahan besar sedang terjadi — dan waktunya lebih cepat dari yang kita bayangkan.