RI Mengadopsi Teknologi Pendeteksi Gempa dari Jepang, Ingatkan Bencana Kurang dari 20 Detik!
Tanggal: 15 Jul 2024 19:26 wib.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) saat ini telah mengadopsi teknologi pendeteksi gempa (Earthquake Early Warning/EEW) yang digunakan Jepang. Hal ini menandakan langkah proaktif pemerintah dalam meningkatkan kewaspadaan terhadap bencana alam, terutama gempa bumi yang seringkali mengakibatkan kerugian besar.
Koordinator Operasional Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami (IGT) BMKG, Wijayanto, menyatakan bahwa pihaknya sedang berupaya mengembangkan teknologi EEW tersebut. Dengan adopsi teknologi ini, diharapkan BMKG dapat memberikan informasi cepat terkait guncangan gempa, memungkinkan masyarakat untuk melakukan tindakan evakuasi dengan lebih cepat.
Earthquake Early Warning (EEW) merupakan sistem peringatan dini yang memberikan sinyal setelah terjadi gempa. Teknologi tersebut memiliki keunggulan dalam kemampuannya untuk memberikan informasi terkait gempa bumi kurang dari 20 detik setelah gempa terjadi. Hal ini memberikan waktu yang sangat berharga bagi masyarakat untuk melakukan evakuasi ke tempat yang lebih aman.
Wijayanto menjelaskan bahwa teknologi ini juga dapat digunakan untuk mematikan atau shutdown sistem kereta cepat, memberikan informasi cepat ke daerah-daerah yang terdampak, fasilitas kritis, daerah industri, dan reaktor nuklir. Dengan demikian, adopsi teknologi ini diharapkan dapat membantu dalam menyelamatkan nyawa dan mengurangi kerugian akibat gempa bumi.
Kerja sama dengan Jepang menjadi kunci dalam adopsi teknologi ini. Jepang telah memasang lebih dari 3000 sensor yang mendukung teknologi EEW di wilayah mereka. Kolaborasi antara Indonesia dan Jepang, termasuk universitas dan pemerintah daerah, diharapkan dapat mempercepat implementasi teknologi ini di Indonesia. Wijayanto menegaskan bahwa instalasi sensor tidak hanya menjadi tanggung jawab BMKG semata, melainkan membutuhkan kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk masyarakat luas.
Namun demikian, perlu disadari bahwa teknologi tersebut tidak dapat memprediksi gempa jauh sebelum terjadi. Sejauh ini, belum ada teknologi yang mampu memperkirakan gempa dengan akurasi hingga satuan hari atau jam. Oleh karena itu, adopsi teknologi EEW diharapkan dapat memberikan informasi cepat terkait guncangan gempa dalam waktu 2–3 tahun ke depan.
Selain adopsi teknologi, BMKG juga sedang dalam proses uji coba terkait efektivitas teknologi EEW ini. Hasil uji coba tersebut dikabarkan memperlihatkan hasil yang lumayan bagus, menunjukkan potensi teknologi ini dalam memberikan peringatan dini yang efektif.
Dalam mengembangkan sistem peringatan dini terhadap bencana, BMKG juga mempertimbangkan untuk mengkolaborasikan kearifan lokal. Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menganggap bahwa kolaborasi antara teknologi modern dan kearifan lokal dapat memperkuat sistem peringatan dini terhadap gempa bumi dan tsunami. Hal ini menjadi penting mengingat Indonesia memiliki beragam pengetahuan lokal yang telah diwariskan turun-temurun dan dapat menjadi sumber pengetahuan yang penting dalam upaya mitigasi bencana.
Dwikorita menambahkan bahwa pengalaman Jepang dalam menghadapi bencana gempa dan tsunami pada tahun 2011 menunjukkan betapa pentingnya kearifan lokal dalam situasi darurat. Teknologi tidak selalu dapat berjalan optimal dalam kondisi bencana, sementara kearifan lokal yang dimiliki masyarakat dapat menyelamatkan banyak nyawa.
Adanya kolaborasi antara teknologi modern dan kearifan lokal diharapkan dapat menghasilkan sistem peringatan dini yang lebih efektif, yang pada akhirnya dapat membantu dalam meminimalisir dampak bencana yang terjadi di Indonesia.
Dari informasi yang diberikan, terlihat bahwa adopsi teknologi pendeteksi gempa EEW dari Jepang oleh BMKG merupakan langkah yang sangat positif. Namun, upaya ini sebaiknya didukung dengan implementasi yang cermat serta kesiapan dalam menghadapi segala kemungkinan dalam rangka peningkatan kesiapan menghadapi bencana gempa bumi di Indonesia. Menyadari bahwa teknologi ini tidaklah cukup, kolaborasi dengan kearifan lokal perlu diperkuat sebagai langkah holistik dalam mitigasi bencana.