Remaja Kian Tak Bisa Lepas dari Medsos, Algoritma Canggih Jadi Biang Ketagihan?
Tanggal: 17 Mei 2025 13:10 wib.
Tampang.com | Remaja di Indonesia menghabiskan rata-rata 6 hingga 8 jam per hari di media sosial. Di balik tren ini, para ahli menyoroti peran algoritma yang sengaja dirancang untuk mempertahankan perhatian pengguna selama mungkin—tanpa peduli dampaknya terhadap kesehatan mental.
Scroll Tak Henti, Dopamin Instan
Aplikasi seperti TikTok, Instagram, dan YouTube menggunakan algoritma yang mempelajari perilaku pengguna secara akurat, menyajikan konten yang memicu rasa penasaran, lucu, atau emosional secara terus-menerus. Akibatnya, otak terbiasa mencari stimulasi instan dan cepat merasa bosan terhadap aktivitas lain.
“Setiap scroll memicu pelepasan dopamin kecil, menciptakan siklus yang mirip dengan kecanduan,” ujar dr. Sinta Ayu, psikolog klinis remaja.
Dampak Psikologis yang Kian Terasa
Tak hanya mengganggu jam tidur dan produktivitas, paparan media sosial berlebih juga dikaitkan dengan meningkatnya kecemasan, gangguan citra tubuh, dan isolasi sosial. Banyak remaja merasa harus terus online agar tidak ‘ketinggalan’ atau kehilangan validasi sosial.
Apakah Platform Bertanggung Jawab?
Meski banyak platform mengklaim menyediakan fitur ‘waktu layar’ atau ‘istirahat sejenak’, pada kenyataannya fitur ini minim pengaruh. Para kritikus menilai desain sistem mereka memang sengaja dibuat agar pengguna terus terjebak dalam konten tak berujung.
Solusi: Edukasi Kritis dan Kontrol Orang Tua
Pendidikan digital sejak dini sangat penting, termasuk mengenalkan konsep algoritma dan dampaknya. Orang tua juga disarankan untuk tidak hanya melarang, tapi ikut mendampingi anak dalam memahami dunia digital dan membangun batasan waktu layar yang sehat.