Rahasia Gerhana di Balik Takhta: Ramalan Kuno Babilonia dan Isyarat Kiamat dari Langit
Tanggal: 31 Mei 2025 11:17 wib.
Bagi peradaban Babilonia kuno, gerhana bulan bukan hanya tontonan langit yang indah. Fenomena ini justru dianggap sebagai sinyal ilahi yang mengisyaratkan musibah besar, bahkan seperti "kiamat kecil" yang berkaitan dengan takdir penguasa. Bangsa Babilonia mengembangkan sistem ramalan yang rumit untuk menguraikan makna dari gerhana, percaya bahwa bayangan yang melintas di Bulan menyimpan pesan dari para dewa.
Para ahli Babilonia mencatat secara teliti fenomena gerhana dalam bentuk tulisan paku di atas tablet tanah liat sekitar 4.000 tahun lalu, pada awal milenium kedua sebelum Masehi. Empat lempengan bertuliskan prediksi ini, yang kini tersimpan di British Museum, akhirnya berhasil diuraikan setelah lebih dari satu abad menunggu pemahaman yang tepat. Hasil penerjemahan tersebut kini dipublikasikan dalam sebuah penelitian terbaru, membuka wawasan baru mengenai bagaimana bangsa kuno mengaitkan gejala langit dengan takdir manusia.
Peneliti mengungkapkan bahwa bangsa Babilonia menggunakan waktu, tanggal, dan arah pergerakan bayangan Bumi selama gerhana bulan untuk meramal nasib kerajaan, khususnya nasib sang raja. Salah satu tablet menyebut bahwa jika gerhana terjadi di pagi hari, itu menandakan akhir dari sebuah dinasti di kota Akkadia, salah satu pusat peradaban besar Mesopotamia.
Menurut studi tersebut, astrologi Babilonia dianggap sebagai cabang ilmu ramalan yang akademis dan terstruktur. Mereka mempercayai bahwa semua peristiwa langit bukan terjadi secara acak, tetapi sebagai tanda-tanda terkode dari para dewa. Langit menjadi semacam “papan pengumuman surgawi” yang memberi tahu apa yang akan terjadi di bumi.
Para penasihat raja bertugas untuk memantau dan menafsirkan setiap pertanda langit, terutama gerhana, agar dapat memberikan panduan bagi raja agar tindakannya selaras dengan kehendak para dewa. Dengan membandingkan ciri-ciri gerhana tertentu dengan kumpulan teks ramalan lainnya, para penasihat ini bisa memperkirakan datangnya bencana dan menyarankan langkah-langkah antisipasi.
Tablet kuno yang dianalisis peneliti diyakini berasal dari kota kuno Sippar, yang kini merupakan bagian dari wilayah Irak. Salah satu catatan mencatat bahwa “gerhana pada waktu jaga malam” menandakan akan datangnya wabah penyakit. Sementara itu, ramalan lain memperingatkan bahwa jika gerhana terjadi dari arah yang tidak biasa, maka bencana besar, seperti banjir besar, akan melanda tanpa ada yang selamat.
Meski tidak sepenuhnya jelas apa yang dimaksud dengan "arah yang salah", para peneliti memperkirakan bahwa istilah ini berkaitan dengan penampakan visual Bulan yang dianggap menyimpang dari prediksi posisi normalnya. Bisa jadi, ini adalah hasil dari kesalahan pengamatan atau fenomena langit yang sulit dijelaskan dengan alat primitif zaman itu.
Namun menariknya, para raja tidak hanya menerima ramalan ini secara pasrah. Jika gerhana dianggap membawa pertanda buruk, maka dilakukan serangkaian ritual khusus untuk menolak bala. Salah satu metode yang digunakan adalah "extispicy" — praktik mengamati organ dalam hewan (biasanya domba atau kambing) untuk mencari petunjuk apakah raja benar-benar dalam ancaman.
Penelitian menyebutkan, dalam beberapa kasus, jika hasil pemeriksaan masih menunjukkan adanya bahaya, maka dilakukan ritual apotropaic — upaya spiritual untuk menangkal kekuatan jahat yang menjadi penyebab ramalan buruk tersebut. Ritual ini melibatkan doa, persembahan, dan pengusiran roh-roh jahat demi menyelamatkan sang raja dan kerajaannya.
Pentingnya tablet kuno ini tidak hanya terletak pada kontennya yang mistis, tetapi juga pada nilainya sebagai bukti sejarah. Para ahli menilai lempengan-lempengan tersebut sebagai kumpulan tertua dari ramalan gerhana bulan yang pernah ditemukan. Hal ini memberikan informasi penting tentang bagaimana masyarakat Babilonia Selatan pada awal milenium kedua SM menggunakan langit sebagai alat navigasi sosial, politik, dan spiritual.
Ramalan ini menjadi bagian dari strategi kekuasaan yang kompleks, di mana penguasa harus menunjukkan bahwa ia selaras dengan kehendak para dewa agar dapat terus mempertahankan legitimasi. Sistem ini menjadikan langit bukan hanya sebagai objek ilmiah, tapi juga medan komunikasi antara dunia fana dan dunia ilahi.
Dengan pemahaman yang semakin maju, para ilmuwan masa kini tidak lagi melihat ramalan Babilonia sebagai takhayul semata, melainkan sebagai bentuk awal dari sistem observasi ilmiah yang sangat terstruktur. Walaupun sarat dengan nuansa mistik dan spiritual, metode yang digunakan menunjukkan dedikasi tinggi dalam mencatat dan mengklasifikasikan fenomena astronomi — warisan yang kini membuka jendela ke masa lalu dan membantu kita memahami bagaimana manusia awal berusaha menaklukkan ketidakpastian nasib melalui bintang-bintang.