Pesawat Boeing "Pulang Kampung" ke AS: Tanda Bahaya Perang Dagang AS-China Makin Panas?
Tanggal: 25 Apr 2025 10:53 wib.
Konflik dagang antara Amerika Serikat dan China kembali memanas, dan kali ini menyeret salah satu industri strategis terbesar di dunia: penerbangan. Baru-baru ini, sebuah pesawat Boeing 737 Max yang diproduksi untuk maskapai Xiamen Airlines asal China tiba-tiba diterbangkan kembali ke Amerika Serikat, padahal pesawat tersebut belum menyelesaikan tahap akhir produksi. Fenomena ini menjadi sinyal kuat bahwa perang tarif dan kebijakan ekonomi Presiden Donald Trump mulai berdampak serius pada sektor manufaktur pesawat terbang.
Berdasarkan data pelacakan penerbangan yang dilansir oleh berbagai media, pesawat Boeing 737 Max tersebut terbang dari fasilitas perakitan di Zhoushan, China, dan mendarat di Seattle, Amerika Serikat, pada Minggu malam waktu setempat. Pesawat ini sejatinya sedang menjalani tahap penyelesaian akhir sebelum diserahkan ke Xiamen Airlines, salah satu anak usaha dari maskapai milik negara, China Southern Airlines.
Laporan awal tentang peristiwa ini berasal dari Reuters. Mereka menyebut bahwa selain pesawat tersebut, masih ada beberapa unit Boeing lainnya yang menunggu penyelesaian akhir di Zhoushan. Namun, belum diketahui secara pasti apakah semua unit akan ikut "dipulangkan" ke AS atau hanya satu unit ini saja yang terkena imbas.
Fenomena ini tentu menimbulkan tanda tanya besar. Mengapa pesawat yang hampir rampung justru dikembalikan ke negara asal produsennya? Tidak ada penjelasan resmi baik dari pihak Boeing maupun Xiamen Airlines terkait keputusan ini. Meski begitu, dugaan kuat mengarah pada meningkatnya tensi perang dagang antara AS dan China yang kini menyasar sektor aviasi.
Sebagai catatan, Puget Sound Business Journal sebelumnya melaporkan bahwa sejak 2019, Xiamen Airlines sudah mengurangi frekuensi penerbangannya ke Seattle. Kini, langkah yang lebih ekstrem diambil: menahan pengiriman pesawat dari produsen AS.
Data pelacakan penerbangan lain dari AirNav Radar menunjukkan bahwa ada pesawat Boeing 737 Max lain yang juga meninggalkan Zhoushan menuju Guam pada Senin pagi waktu setempat. Guam sendiri dikenal sebagai titik transit utama bagi pesawat-pesawat yang dalam perjalanan ke AS.
Situasi ini semakin diperkuat dengan laporan Bloomberg yang menyatakan bahwa pemerintah China telah memerintahkan seluruh maskapai domestiknya untuk menghentikan pengambilan pengiriman pesawat dan suku cadang dari Boeing. Ini merupakan pukulan telak bagi raksasa penerbangan asal AS tersebut, yang selama bertahun-tahun menggantungkan pertumbuhan pasar pada pelanggan dari Asia, khususnya China.
Presiden Trump pun turut bersuara melalui media sosial miliknya, Truth Social. Ia mengklaim bahwa China telah melanggar kesepakatan besar dengan Boeing, dan menyatakan bahwa negara tersebut secara sepihak memutuskan untuk tidak menerima pengiriman pesawat yang sebelumnya sudah mereka sepakati.
Sementara itu, langkah-langkah serupa juga mulai terlihat dari negara lain. CEO Malaysia Aviation Group mengungkapkan bahwa pihaknya tengah berdiskusi dengan Boeing untuk mengambil alih slot pengiriman pesawat yang awalnya dialokasikan ke maskapai China. Bahkan, Air India yang memiliki pesanan tertunda untuk pesawat jenis serupa juga disebut-sebut siap mengambil kesempatan tersebut.
Perang dagang antara AS dan China kini telah mencapai tahap eskalasi yang cukup serius. Di sektor lain, China telah memberlakukan larangan terhadap impor film Hollywood dan menaikkan tarif atas sejumlah produk AS. Sebagai tanggapan, pemerintahan Trump juga memperketat ekspor chip H20 buatan Nvidia ke China, yang oleh banyak pengamat dianggap sebagai bentuk larangan total secara terselubung.
Saat ini, tarif balasan antara kedua negara pun terus melonjak. China sudah menetapkan tarif balasan sebesar 125%, sementara AS menaikkan tarifnya hingga 145% untuk barang-barang asal China. Trump bahkan mengancam akan menaikkan tarif itu menjadi 245% dalam waktu dekat.
China sendiri merupakan pasar strategis bagi Boeing, dan ketegangan ini jelas mengancam eksistensi Boeing di kawasan Asia. Dalam laporan tahunan yang dirilis Februari 2025, Boeing menyatakan bahwa hubungan dagang dan situasi geopolitik dapat secara signifikan memengaruhi prospek bisnis mereka, terutama di China.
Kini, Boeing menghadapi tantangan berat. Di satu sisi, mereka masih dalam proses pemulihan dari krisis finansial yang menghantam tahun lalu. Di sisi lain, persaingan dengan Airbus, rival mereka dari Eropa, kian sengit. Dengan hambatan dagang yang makin keras, posisi Boeing bisa semakin lemah dalam merebut pangsa pasar internasional.
Perlu diketahui, Boeing saat ini masuk dalam daftar 100 perusahaan paling bernilai di AS dan mempekerjakan lebih dari 172.000 karyawan. Namun, saham perusahaan telah mengalami penurunan hingga 8,5% sejak awal tahun 2025. Ini menunjukkan tekanan besar yang dihadapi oleh perusahaan yang dulunya menjadi simbol kekuatan industri AS di mata dunia.
Perang dagang yang melibatkan sektor penerbangan seperti ini jarang terjadi dalam sejarah. Jika dibiarkan berlarut-larut, bukan tidak mungkin akan terjadi perubahan peta dominasi industri penerbangan global. Dunia kini menanti: apakah konflik ini akan berakhir di meja perundingan atau justru mengarah ke persaingan yang lebih tajam dan merugikan banyak pihak?