Sumber foto: iStock

Perjuangan Indonesia Menuju Net Zero 2060: Tantangan dan Peluang di Tengah Ancaman Perubahan Iklim

Tanggal: 9 Des 2024 11:04 wib.
Pada Rabu (4/12) lalu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, terendam banjir dan longsor. Fenomena ini menjadi cerminan dari dampak perubahan iklim yang semakin nyata dan merugikan.

Hal ini sejalan dengan fakta bahwa Indonesia merupakan negara penghasil emisi Gas Rumah Kaca (GRK) terbesar ke-5 di dunia, setelah China, Amerika Serikat, India, dan Rusia pada tahun 2022. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan investasi sebesar US$2,4 triliun untuk mencapai target net zero pada tahun 2060.

Gas rumah kaca menjadi penyebab utama pemanasan global yang membawa dampak perubahan iklim, yang jika tidak segera ditangani akan mengakibatkan bencana yang lebih parah di masa depan.

Kearney, sebuah firma konsultan manajemen global, mengidentifikasi lima sektor utama yang berkontribusi pada emisi GRK di Indonesia. Sektor pertanian, kehutanan, dan penggunaan lahan (AFOLU) memiliki kontribusi tertinggi mencapai 55%, sementara sektor energi mencapai 26%, transportasi 8%, sampah 8%, dan proses industri dan produksi (IPPU) sebesar 3%.

Direktur Utama Kearney Indonesia, Shirley Santoso, menilai bahwa Indonesia memiliki momen penting dalam menentukan komitmennya terkait pengurangan emisi GRK. Oleh karena itu, perlunya intervensi dari berbagai pihak pemangku kepentingan untuk menanggulangi masalah emisi GRK di tanah air.

Dalam upaya menangani masalah ini, pembiayaan hijau atau green financing menjadi solusi lintas sektor yang penting. Investasi sebesar US$2,4 triliun atau sekitar Rp 38,08 kuadriliun diperlukan untuk mencapai target net zero pada tahun 2060.

Saat ini, Environmental, Social, and Governance (ESG) telah menjadi fokus utama bagi investor global. Oleh karena itu, Indonesia perlu mengurangi hambatan penanaman modal asing dan menyesuaikan pedoman pinjaman untuk menarik modal bagi investasi hijau.

Tidak hanya pembiayaan, pemerintah Indonesia juga diminta untuk membentuk kerangka regulasi yang efektif, termasuk dalam hal teknologi bersih dan penetapan harga karbon. Upaya ini juga dapat dilakukan melalui pajak dan kredit karbon. Selain itu, perlu adanya fokus dalam bidang riset dan pengembangan energi hijau sehingga mendorong adopsi teknologi baru.

Selain itu, inklusivitas juga menjadi hal yang penting dalam menangani isu perubahan iklim. Dukungan terhadap kelompok-kelompok rentan, seperti Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di industri dengan karbon tinggi, petani kecil, dan tenaga kerja Indonesia secara menyeluruh juga perlu diupayakan.

Selanjutnya, kampanye urgensi energi terbarukan juga harus didorong secara masif di Indonesia. Saat ini, 64% orang Indonesia masih merasa ragu untuk mengalokasikan sumber daya mereka untuk perubahan iklim. Oleh karena itu, upaya-edukasi dan peningkatan kesadaran terhadap pentingnya energi terbarukan perlu terus digencarkan.

Dengan perubahan pola pikir dan tindakan nyata dari semua pihak terkait, Indonesia memiliki potensi besar untuk mengurangi emisi GRK serta mencapai target net zero pada tahun 2060.

Hal ini akan membawa dampak positif tidak hanya bagi lingkungan, tetapi juga dalam hal kemajuan ekonomi dan teknologi di Indonesia. Oleh karena itu, kolaborasi yang baik antara pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha menjadi sangat penting dalam menangani isu perubahan iklim ini.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved