Perang Dagang AS-China Makin Memanas: Kenapa Xi Jinping Tiba-Tiba Lunak pada Chip Amerika?
Tanggal: 5 Mei 2025 20:40 wib.
Ketegangan hubungan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China kembali memanas setelah Presiden AS, Donald Trump, secara resmi mengumumkan kebijakan tarif bea masuk terbaru. Keputusan ini langsung memicu efek domino dalam bentuk serangan balasan dari Beijing, menciptakan atmosfer baru dalam perang dagang global yang sudah berlangsung bertahun-tahun.
Tarif baru yang diumumkan bukan sekadar kebijakan biasa—tarif bea masuk yang diberlakukan kedua negara kini menembus angka lebih dari 100%, menciptakan beban besar bagi sektor industri dan rantai pasok global yang selama ini saling bergantung satu sama lain. Namun, di balik panasnya konflik ekonomi ini, ada sinyal menarik yang datang dari Tiongkok.
Xi Jinping Lembut pada Chip AS, Ada Apa?
Pada April lalu, Presiden China Xi Jinping secara mengejutkan mengumumkan pelonggaran tarif pada delapan kategori chip buatan Amerika Serikat. Tarif yang sebelumnya mencapai 125% kini dibebaskan untuk beberapa kategori penting.
Langkah ini dianggap tidak biasa mengingat sikap keras China selama beberapa tahun terakhir terhadap produk-produk teknologi asal AS. Namun, menurut laporan Wall Street Journal, keputusan tersebut bukan tanpa alasan. Pelonggaran tersebut terjadi usai adanya lobi kuat dari sejumlah produsen mobil China yang bergantung pada pasokan chip dari Amerika.
Para pengusaha otomotif itu mendesak pemerintah untuk membuka akses agar mereka tetap dapat memproduksi kendaraan dengan fitur teknologi canggih, tanpa terhambat mahalnya komponen chip akibat tarif.
Target Ambisius: Produksi Chip Lokal Tetap Jalan
Meskipun ada pelonggaran terhadap chip impor, Pemerintah China tetap tidak melonggarkan visi jangka panjangnya dalam mengurangi ketergantungan terhadap teknologi luar negeri, khususnya dari AS.
Beijing memastikan bahwa setidaknya 25% dari chip kendaraan harus diproduksi di dalam negeri mulai tahun ini. Target ini cukup ambisius, mengingat pada akhir tahun 2025, China ingin mencapai tingkat produksi domestik sebesar 15% untuk semua kebutuhan chip kendaraan.
Namun, beberapa sumber dari dalam pemerintahan dan industri menyebut bahwa target ini cukup sulit dicapai. Infrastruktur dan keahlian dalam pembuatan chip masih belum mampu bersaing sepenuhnya dengan perusahaan-perusahaan besar asal Amerika seperti Texas Instruments dan NXP Semiconductors.
Inilah yang kemudian membuat China tidak tinggal diam. Mereka mulai melakukan pendekatan diplomatik dan bisnis dengan perusahaan chip asal Amerika untuk membuka peluang produksi lokal di wilayah China. Strategi ini dinilai sebagai solusi tengah—tidak memutus total kerja sama, namun tetap mendorong pertumbuhan ekosistem chip domestik.
China Melirik Produksi Lokal oleh Perusahaan Asing
Pendekatan China kepada Texas Instruments dan NXP bertujuan agar perusahaan-perusahaan tersebut bersedia melakukan transfer teknologi atau bahkan membangun fasilitas produksi di China. Dengan cara ini, China berharap bisa mempercepat transfer kapabilitas teknis dan memperluas kapasitas manufaktur lokal.
Sayangnya, hingga saat ini Kementerian Perindustrian dan Teknologi Informasi China—lembaga yang mengawasi industri otomotif dan semikonduktor—belum memberikan pernyataan resmi terkait rencana tersebut. Namun, dari dinamika yang terjadi, terlihat jelas bahwa China kini mencoba untuk memainkan strategi yang lebih fleksibel dan terukur dibandingkan sebelumnya.
Trump Beri Pengecualian untuk iPhone, Tapi…
Di sisi lain, pemerintahan Trump juga mengambil langkah strategis yang tidak kalah menarik. Meski telah menetapkan tarif resiprokal sebesar 145% terhadap berbagai produk impor dari China, ada pengecualian penting untuk sektor elektronik, termasuk iPhone.
Washington menyadari bahwa banyak produk elektronik yang dijual di AS, seperti iPhone dan laptop, masih dirakit dan diproduksi di pabrik-pabrik yang berlokasi di China. Memberlakukan tarif tinggi terhadap produk ini justru akan memukul industri dalam negeri Amerika sendiri dan membuat harga barang melonjak di pasar konsumen.
Namun, Trump tidak tinggal diam. Ia berencana mengumumkan skema tarif baru yang lebih spesifik, yang saat ini tengah disiapkan dan akan disampaikan dalam beberapa pekan ke depan. Strategi ini dinilai sebagai langkah kompromi yang menjaga kepentingan ekonomi domestik sekaligus memberi tekanan politik terhadap China.
Perang Dagang atau Perang Strategi?
Melihat pergerakan kedua negara, jelas bahwa perang dagang antara AS dan China tidak hanya soal tarif semata, tetapi sudah menyentuh persaingan teknologi dan dominasi ekonomi global. Kedua belah pihak tengah memainkan strategi jangka panjang untuk mengurangi ketergantungan satu sama lain, namun tetap tidak bisa sepenuhnya melepaskan hubungan dagang yang saling menguntungkan.
Bagi China, mengurangi bea masuk pada chip bukanlah bentuk kelemahan, melainkan strategi transisi cerdas untuk memastikan roda industri tetap berjalan sembari memperkuat kapasitas dalam negeri. Sementara AS, melalui kebijakan Trump, mencoba mempertahankan posisi tawar dalam rantai pasok global tanpa menghancurkan ekosistem produksi sendiri.
Kondisi ini menciptakan ketidakpastian yang besar bagi banyak perusahaan multinasional. Mereka kini harus berpikir ulang soal lokasi produksi, struktur pasokan, hingga strategi ekspor-impor, karena setiap kebijakan bisa berdampak langsung pada biaya operasional dan keberlanjutan bisnis mereka.
Apa Artinya bagi Dunia?
Perang dagang AS-China bukan hanya urusan dua negara. Sebagai dua ekonomi terbesar di dunia, konflik ini memberikan efek limpahan (spillover effect) yang sangat luas—mulai dari harga barang elektronik, bahan baku industri, hingga investasi teknologi.
Jika ketegangan ini tidak diredam atau dikelola dengan bijak, maka bukan tidak mungkin dunia akan menghadapi gelombang inflasi baru akibat kenaikan harga komponen teknologi yang krusial, seperti chip semikonduktor.
Di sinilah pentingnya diplomasi ekonomi yang fleksibel namun tetap tegas. Dunia butuh solusi, bukan hanya sanksi.