Pencurian Data Kian Masif, Mengapa Perlindungan Digital Kita Begitu Lemah?
Tanggal: 10 Mei 2025 12:04 wib.
Tampang.com | Kebocoran data pribadi kembali terjadi. Dalam sebulan terakhir, data dari dua institusi publik dilaporkan bocor dan dijual bebas di forum gelap internet. Nama, NIK, alamat, bahkan riwayat transaksi jutaan warga Indonesia jadi komoditas murah di pasar digital. Meski Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) telah disahkan, implementasinya dinilai jauh dari memadai. Mengapa sistem keamanan digital kita begitu rentan?
Data Bocor, Warga Tak Dilindungi
Kabar terakhir menyebut bahwa lebih dari 10 juta data milik pengguna layanan publik bocor dan diperjualbelikan. Celakanya, mayoritas korban tidak diberi notifikasi resmi dan tidak tahu bahwa data mereka sedang disalahgunakan.
“Saya baru tahu data saya tersebar setelah ada tagihan pinjaman online. Padahal saya tidak pernah mengajukan,” keluh Novita, karyawan swasta di Bekasi.
UU PDP Masih Lemah dalam Penegakan
Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi yang sudah disahkan sejak 2022 ternyata belum menunjukkan taji. Banyak lembaga belum memiliki pejabat perlindungan data, sementara sanksi administratif hingga pidana belum pernah ditegakkan secara nyata.
“Hukum kita lamban, sementara teknologi penjahat siber makin canggih. Ini ketimpangan serius,” kata Dian Puspitasari, peneliti keamanan siber dari ICT Watch.
Instansi Pemerintah Juga Jadi Target
Yang mengejutkan, kebocoran data tidak hanya terjadi di sektor swasta. Beberapa instansi pemerintah pusat dan daerah justru menjadi sumber kebocoran akibat sistem IT yang usang, minim enkripsi, dan tidak terintegrasi dengan standar keamanan global.
“Kami temukan data sensitif yang tersimpan tanpa enkripsi dan bisa diakses publik. Ini sangat mengkhawatirkan,” ungkap Tim Ahli Siber dari BSSN dalam laporan internalnya.
Masyarakat Jadi Korban Berulang
Dalam banyak kasus, data yang bocor digunakan untuk penipuan, pemerasan, atau pinjaman ilegal. Dampaknya langsung dirasakan oleh masyarakat yang harus menanggung risiko finansial dan psikologis.
“Bayangkan, orang tidak pernah pinjam uang, tapi tiba-tiba dikejar debt collector. Ini bukan hanya soal teknologi, tapi soal hak asasi,” tegas Dian.
Solusi: Literasi Digital dan Audit Keamanan Menyeluruh
Para ahli menilai perlindungan data tak cukup hanya mengandalkan regulasi. Diperlukan audit sistem keamanan secara menyeluruh di seluruh lembaga, serta peningkatan literasi digital masyarakat agar lebih waspada terhadap penyalahgunaan data.
“UU PDP harus diikuti dengan pembentukan lembaga pengawas independen dan edukasi publik yang masif. Jika tidak, kebocoran akan terus terjadi,” ujar Dian.
Data Adalah Identitas, Harus Dijaga Seperti Nyawa
Di era digital, data pribadi bukan sekadar informasi—ia adalah identitas, akses ke layanan, bahkan potensi ancaman jika jatuh ke tangan yang salah.
“Negara harus hadir melindungi rakyatnya di dunia digital, sebagaimana ia melindungi di dunia nyata,” tutup Dian.