Pelaku Usaha Ketar-ketir Starlink Lakukan Predatory Pricing
Tanggal: 30 Jun 2024 20:13 wib.
Pelaku industri telekomunikasi di Indonesia tidak boleh lengah dengan tingginya perbedaan tarif layanan Starlink jika dibandingkan dengan penyedia jasa internet lokal. Meskipun ancaman terhadap bisnis mereka saat ini masih cukup kecil, tetapi potensi predatory pricing tidak dapat dianggap enteng.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI), Marwan O. Baasir, mengungkapkan kekhawatiran tersebut saat berkunjung ke kantor Bisnis Indonesia di Jakarta. Menurut paparan ATSI, saat ini Starlink menawarkan tiga jenis tarif langganan, yaitu layanan residensial seharga Rp750.000/bulan, layanan jelajah regional seharga Rp990.000/bulan, dan layanan jelajah global seharga Rp4,3 juta/bulan.
Perbedaan tarif ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tarif layanan fixed broadband yang berkisar di angka Rp300.000/bulan untuk kecepatan 50 Mbps, serta layanan mobile seluler yang harganya lebih terjangkau sekitar Rp7.000/GB. Selain itu, pelanggan Starlink juga diwajibkan untuk membeli perangkat senilai Rp7,8 juta, sementara pelanggan fixed broadband dan mobile seluler tidak dikenakan biaya perangkat yang sebesar itu. Hal ini membuat pelaku industri telekomunikasi lokal khawatir akan praktik predatory pricing yang mungkin dilakukan oleh Starlink, yang dapat mengancam bisnis mereka.
Sebagai tindakan mitigasi, ATSI bersama dengan para pemain di industri telekomunikasi menyiapkan sejumlah usulan ketentuan. Pertama-tama, Starlink diwajibkan untuk berkolaborasi dengan pemain lokal melalui model bisnis business to business (B2B), seperti yang telah dilakukan di beberapa negara lain seperti Inggris, India, dan Australia.
Kedua, lisensi Starlink Nasional sebaiknya dibatasi pada layanan B2B saja, sementara layanan business to consumer (B2C) dapat dilokalisasi hanya untuk wilayah non-ekonomi di pedesaan dan terpencil. Ketentuan ini diharapkan dapat mengurangi dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh Starlink terhadap bisnis telekomunikasi lokal.
Tidak hanya itu, layanan direct to cell milik Starlink juga diwajibkan untuk bekerjasama dengan operator seluler sebagai pemilik frekuensi. Selain itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) bersama dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) perlu memantau dampak bisnis Starlink untuk menghindari predatory pricing serta kompetisi yang tidak sehat.
Marwan menekankan bahwa pemerintah perlu memastikan bahwa Starlink telah mematuhi semua persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini termasuk biaya hak penggunaan frekuensi dan ketentuan lainnya. Saat ini, Starlink diyakini membayar biaya hak penggunaan frekuensi lebih murah dibandingkan dengan penyedia jasa internet lokal di Indonesia. Seiring dengan itu, instruksi dari pemerintah juga diharapkan dapat memastikan implementasi nota kesepahaman yang sudah dibuat antara Starlink dan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII).
Meskipun izin usaha Starlink telah sesuai dengan regulasi yang berlaku, namun izin B2C dengan skema equal playing field yang diberikan berpotensi mengancam keberlangsungan bisnis seluruh pemain lokal. Marwan menegaskan bahwa praktik predatory pricing yang mungkin dilakukan oleh Starlink merupakan ancaman serius bagi industri telekomunikasi nasional, dan pemerintah perlu melindungi keberlangsungan bisnis para pelaku industri telekomunikasi lokal.
Dengan begitu, penetapan regulasi yang tepat dan pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan perizinan bisnis Starlink di Indonesia diharapkan dapat menjadi langkah penting untuk menjaga keadilan persaingan dalam bisnis telekomunikasi. Setiap kebijakan yang diambil perlu mempertimbangkan kepentingan seluruh pemangku kepentingan di industri telekomunikasi, dengan tujuan untuk memastikan keberlangsungan bisnis yang sehat dan adil bagi semua pelaku industri telekomunikasi di Tanah Air. Menjaga keseimbangan persaingan antara Starlink dengan para pelaku industri telekomunikasi lokal dianggap sebagai langkah yang penting demi menjaga keberlangsungan industri telekomunikasi nasional.