Sumber foto: Disway Malang

Paus Leo XIV: AI Bisa Ancam Martabat Manusia dan Pekerja! Gereja Vatikan Serukan Regulasi Global

Tanggal: 8 Jun 2025 14:39 wib.
Dalam sebuah pidato perdana yang menggugah dunia, Paus Leo XIV menyampaikan kekhawatirannya terhadap ancaman nyata yang ditimbulkan oleh kecerdasan buatan (AI) terhadap martabat manusia, keadilan sosial, serta kelangsungan masa depan para pekerja. Seruan keras ini menandai sikap serius Vatikan dalam menghadapi gelombang perubahan teknologi yang dinilai bisa merusak nilai-nilai kemanusiaan jika tidak dikendalikan secara bijaksana.

Paus Leo, yang dikenal sebagai pemimpin Gereja Katolik yang berlatar belakang akademik di bidang matematika dan berasal dari Amerika Serikat, secara tegas menyerukan adanya regulasi global yang lebih ketat terhadap perkembangan AI. Dalam pandangannya, teknologi ini memang memiliki potensi besar, namun juga menyimpan bahaya laten jika digunakan tanpa tanggung jawab sosial.

Tak hanya berhenti pada peringatan, dua hari setelah pidato tersebut, Paus Leo XIV kembali menegaskan bahwa walau teknologi AI merupakan inovasi luar biasa, penggunaannya harus berorientasi pada kebaikan bersama. "AI bukan musuh, tapi kita harus mengendalikannya agar tidak menjadi tuan atas manusia," tegasnya, menyoroti pentingnya etika dalam penerapan teknologi canggih tersebut.

Sikap ini mencerminkan kelanjutan dari perjuangan moral Gereja yang sudah berlangsung sejak masa Revolusi Industri. Seperti halnya pendahulu-pendahulunya yang memperjuangkan hak-hak buruh saat mesin-mesin mulai menggantikan tenaga kerja manusia, Paus Leo XIV kini memposisikan dirinya sebagai pelindung nilai-nilai sosial dalam menghadapi tantangan digital masa kini.

Vatikan sendiri tidak sekadar berbicara. Upaya mereka dalam menyoroti dan mengatur etika AI telah dimulai sejak tahun 2020 lewat prakarsa "Rome Call for AI Ethics" yang digagas oleh Paus Fransiskus. Inisiatif ini melibatkan kolaborasi lintas sektor dari pemimpin agama, politik, hingga korporasi teknologi global.

Pakar etika AI dari Vatikan, Paolo Benanti, mengatakan bahwa Gereja mengajak dunia untuk “menatap langit, tetapi tetap berpijak pada realitas zaman.” Pernyataan ini mencerminkan keseimbangan antara keterbukaan terhadap teknologi dan keharusan menjaga prinsip kemanusiaan.

Sementara itu, Prof. Maria Savona, pakar dari bidang ekonomi dan teknologi, menyampaikan kekhawatiran akan dampak AI terhadap kelompok pekerja dengan keterampilan rendah. Menurutnya, mereka yang paling mungkin menjadi korban pertama dari gelombang otomatisasi dan pengambilan keputusan berbasis algoritma.

Dalam pernyataannya, Prof. Savona juga menegaskan bahwa jaringan Gereja Katolik yang tersebar di berbagai negara berkembang dapat menjadi kekuatan pendorong agar akses terhadap teknologi AI menjadi lebih demokratis dan regulasinya tidak hanya berpihak pada negara-negara maju.

Kecemasan tersebut bukan tanpa alasan. AI kini tak hanya menjadi alat bantu kerja, tetapi mulai memasuki ruang-ruang kehidupan manusia secara menyeluruh—dari industri, pendidikan, kesehatan, hingga keamanan. Tanpa kerangka regulasi etis dan hukum yang jelas, AI bisa mengikis nilai-nilai kemanusiaan, memperlebar jurang ketimpangan sosial, bahkan mengancam hak asasi manusia.

Yang menarik, seruan keras Vatikan ini datang di saat sejumlah negara justru sedang merevisi pendekatan regulasi mereka. Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump, misalnya, memilih untuk membongkar regulasi AI yang lama, bahkan menggulirkan dana raksasa senilai setengah triliun dolar untuk pengembangan teknologi AI dan perangkat kerasnya. Langkah ini dinilai oleh banyak pihak sebagai bentuk deregulasi yang bisa memberi ruang pada ekspansi AI tanpa kontrol yang memadai.

Di sisi lain, Uni Eropa juga mulai melonggarkan pendekatan regulatif mereka agar bisa tetap bersaing dalam pasar global teknologi. Sikap ini tentu menimbulkan pertanyaan besar tentang arah pengembangan AI secara global dan siapa yang akan mengatur “aturan main” dari teknologi masa depan ini.

Paus Leo XIV sendiri tampaknya tak tinggal diam. Ia bahkan sudah menjalin komunikasi dengan Perdana Menteri Italia, Giorgia Meloni, untuk memperkuat dorongan terhadap AI yang etis dan berkelanjutan. Ini menjadi sinyal bahwa Vatikan benar-benar berupaya masuk ke ranah diplomasi dan kebijakan internasional demi memastikan bahwa pengembangan teknologi tak melupakan nilai-nilai dasar kemanusiaan.

Tahun lalu, Paus Fransiskus sempat berpidato di forum negara-negara G7 tentang pentingnya etika AI. Sekarang, tongkat estafet itu diteruskan oleh Paus Leo XIV, yang tak hanya memiliki kepedulian spiritual, tetapi juga pemahaman akademik mendalam tentang matematika dan logika, menjadikannya sosok yang sangat relevan untuk mengawal isu ini di era digital.

Dengan berkembangnya teknologi yang kian pesat dan kekuatan AI yang terus bertambah, suara-suara seperti Paus Leo XIV menjadi sangat penting. Dunia bukan hanya butuh inovasi, tapi juga kompas moral untuk menavigasi arah masa depan. Karena sejatinya, kemajuan teknologi tanpa kontrol etis bisa berubah menjadi ancaman, bukan berkah.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved