Panasnya Perang Satelit: Eropa, China, dan Amazon Serbu Starlink, Siapa yang Bertahan di Orbit?
Tanggal: 30 Jun 2025 22:15 wib.
Industri internet berbasis satelit kini memasuki babak baru dengan persaingan yang semakin memanas. Di tengah dominasi Starlink, layanan milik Elon Musk, berbagai pemain global mulai bermunculan, salah satunya adalah Eutelsat dari Eropa, yang mencoba merebut pangsa pasar dengan strategi berbeda.
Eutelsat sendiri memperkuat langkahnya sejak 2023, saat bergabung dengan OneWeb, perusahaan teknologi satelit asal Inggris. Dengan dukungan pemerintah Prancis yang menginvestasikan 1,35 miliar euro (sekitar Rp25,6 triliun), Eutelsat kini berada dalam posisi strategis untuk mengembangkan konektivitas berbasis Low Earth Orbit (LEO) sebagai pesaing Starlink.
Presiden Prancis, Emmanuel Macron, bahkan menyerukan agar Eropa tidak tertinggal dalam persaingan luar angkasa, karena sektor ini dipandang sebagai simbol kekuatan global. Investasi besar-besaran pun digelontorkan demi menjadikan Eutelsat alternatif yang kuat.
Salah satu langkah signifikan adalah upaya Eutelsat untuk mengisi celah konektivitas di Ukraina. Ketika hubungan Ukraina dan Amerika Serikat sempat memanas pasca kemenangan Donald Trump dalam pemilu presiden AS, muncul kekhawatiran bahwa akses Starlink di Ukraina akan dipangkas. Dalam kondisi ini, Eutelsat disebut-sebut akan menggantikan Starlink.
Jerman pun telah mendukung langkah ini dengan mengirim 1.000 terminal Eutelsat ke Ukraina pada April 2025. Namun, bukan untuk menggantikan sepenuhnya, melainkan sebagai opsi cadangan yang memperkuat infrastruktur komunikasi di wilayah konflik.
Namun seiring membaiknya hubungan antara AS dan Ukraina, posisi Eutelsat kembali terdesak. Starlink tetap menjadi penyedia utama konektivitas untuk militer dan layanan penting lainnya.
Bahkan, mantan CEO Eutelsat, Eva Berneka, secara terbuka menyatakan bahwa perusahaannya masih belum mampu bersaing secara setara dengan Starlink. Dalam wawancaranya, ia mengungkapkan kejujuran yang mencolok: "Kalau kita bicara tentang menggantikan seluruh kapasitas Starlink di Ukraina, kita belum mampu. Mari realistis."
Analis dari Ookla, Luke Kehoe, juga menyuarakan keraguan serupa. Menurutnya, meskipun Eutelsat telah mendapat suntikan dana besar, mereka masih tertinggal dari Starlink dalam berbagai aspek penting: mulai dari kapasitas produksi, frekuensi peluncuran, kepemilikan spektrum, hingga distribusi terminal pengguna.
Namun, Kehoe percaya bahwa Eutelsat masih punya peluang khusus di pasar Eropa, yang lebih memperhatikan isu privasi, kedaulatan digital, dan keamanan data. Di benua ini, Eutelsat bisa memosisikan diri sebagai penyedia layanan yang lebih sesuai dengan nilai-nilai lokal dibanding Starlink milik perusahaan AS.
Sementara itu, dari sisi timur, Tiongkok tak tinggal diam. Sebuah perusahaan bernama SpaceSail, yang berbasis di Shanghai, telah menunjukkan ambisi besar untuk menyaingi Starlink. Pada November lalu, SpaceSail menandatangani perjanjian kerja sama dengan Brasil dan saat ini telah beroperasi di Kazakhstan, menurut laporan kedutaan besar Kazakhstan di Beijing.
Media pemerintah China menggambarkan SpaceSail sebagai proyek strategis yang melintasi batas negara dan menembus kedaulatan digital, serta diyakini akan menjadi kekuatan baru dalam lanskap teknologi luar angkasa. SpaceSail menargetkan 648 satelit LEO tahun ini, dan meningkat drastis menjadi 15.000 unit pada 2030—angka yang menyaingi ambisi Starlink yang kini mengoperasikan sekitar 7.000 satelit, dan merencanakan total 42.000 satelit pada akhir dekade ini.
Di sisi lain, Amazon, raksasa teknologi Amerika Serikat yang didirikan oleh Jeff Bezos, turut memasuki kompetisi lewat proyek Project Kuiper. Baru-baru ini, mereka meluncurkan gelombang kedua satelit internet mereka, setelah peluncuran perdana mengirim 27 satelit ke orbit rendah Bumi.
Project Kuiper bertujuan membangun konstelasi awal lebih dari 3.200 satelit, dengan 80 misi peluncuran yang sudah dirancang. Amazon bahkan telah menggandeng sejumlah penyedia roket ternama, seperti ULA (Atlas V & Vulcan Centaur), Arianespace, Blue Origin, hingga bahkan SpaceX Falcon 9, menunjukkan bahwa persaingan bisnis tak menghalangi kerja sama teknis jika menguntungkan kedua belah pihak.
Jika semua berjalan sesuai jadwal, layanan internet Project Kuiper akan diluncurkan secara global pada akhir 2025. Awalnya dengan 1.000 satelit aktif, lalu bertambah menjadi 3.200 untuk menjamin stabilitas dan kapasitas layanan.
Kini, medan laga penyedia internet satelit tidak lagi hanya milik Elon Musk. Ada Eropa dengan Eutelsat, China lewat SpaceSail, dan Amazon dengan Project Kuiper, semuanya berlomba-lomba menghadirkan konektivitas global berbasis LEO yang cepat, stabil, dan aman.
Pertanyaannya: di tengah konflik geopolitik, perubahan kebijakan, serta tuntutan pasar global, siapa yang akan keluar sebagai pemimpin sejati di orbit rendah Bumi?
Satu hal yang pasti, akses internet di masa depan akan ditentukan bukan hanya oleh kecepatan dan harga, tetapi juga oleh politik luar angkasa, keamanan data, dan kontrol terhadap infrastruktur digital.