Sumber foto: Istirahat

Nvidia Siapkan Chip AI Murah untuk China: Strategi Diam-Diam Hadapi Teror Blokir Trump!

Tanggal: 31 Mei 2025 11:12 wib.
Nvidia, raksasa teknologi asal Amerika Serikat, tengah mempersiapkan langkah taktis demi mempertahankan pijakannya di pasar China yang kini dibayangi larangan ekspor chip AI oleh pemerintahan Donald Trump. Menghadapi tekanan regulasi yang semakin ketat, perusahaan ini disebut-sebut sedang merancang chip kecerdasan buatan (AI) baru yang lebih terjangkau dan spesifikasinya lebih rendah, namun tetap kompetitif di pasar.

Menurut laporan eksklusif dari Reuters yang mengutip sumber terpercaya, chip AI baru tersebut kemungkinan besar akan mulai diproduksi secepat-cepatnya pada bulan Juni 2025. Chip ini dirancang untuk tetap mematuhi aturan pembatasan ekspor yang diberlakukan oleh pemerintah AS, sekaligus mempertahankan keberadaan Nvidia di pasar data center China yang sangat menggiurkan.

Harga chip baru tersebut diprediksi akan jauh lebih rendah dibandingkan dengan model H20 yang sebelumnya telah terkena pemblokiran. H20 diketahui dijual di kisaran US$10.000 hingga US$12.000 per unit. Namun, dua sumber industri menyebutkan bahwa harga chip baru buatan Nvidia hanya berkisar antara US$6.500 hingga US$8.000, menjadikannya alternatif yang jauh lebih ekonomis bagi konsumen di China.

Langkah ini merupakan bagian dari upaya Nvidia dalam menyesuaikan strategi bisnisnya terhadap ketatnya pembatasan ekspor teknologi tinggi yang diberlakukan AS terhadap China. Pasalnya, ketegangan geopolitik antara kedua negara telah mengakibatkan terganggunya rantai pasok dan akses pasar yang selama ini sangat penting bagi pertumbuhan Nvidia.

Chip AI terbaru Nvidia ini akan menggunakan basis RTX Pro 6000D—prosesor kelas server yang meskipun masih mumpuni, tidak sekuat chip premium Nvidia sebelumnya. Selain itu, chip ini tidak menggunakan jenis memori termutakhir. Alih-alih memakai High Bandwidth Memory (HBM), chip ini hanya dilengkapi dengan GDDR7, jenis memori grafis yang lebih standar namun tetap dapat memenuhi kebutuhan dasar pemrosesan AI.

Tak hanya itu, Nvidia juga mengorbankan teknologi canggih pada sisi pengemasan chip. Jika sebelumnya perusahaan menggunakan teknologi Chip on Wafer on Substrate (CoWoS) dari Taiwan Semiconductor Manufacturing Company (TSMC), pada produk baru ini teknologi tersebut akan ditinggalkan demi menyederhanakan produksi dan memangkas biaya. TSMC sendiri enggan memberikan komentar terkait keputusan ini.

Juru bicara Nvidia menyatakan bahwa perusahaan saat ini masih melakukan evaluasi menyeluruh terhadap berbagai opsi desain baru, dengan tetap memperhatikan regulasi ketat dari pemerintah AS. Menurutnya, selama perusahaan belum mendapat desain final yang sesuai dan mendapatkan izin dari Washington, Nvidia secara praktis akan kehilangan akses ke pasar pusat data China yang bernilai sekitar US$50 miliar.

“Selama kami belum memutuskan desain baru dan belum memperoleh persetujuan dari pemerintah AS, kami tidak bisa kembali bersaing di pasar pusat data China yang sangat penting ini,” jelas juru bicara tersebut.

Sebelumnya, Nvidia sempat mempertimbangkan untuk menciptakan versi hemat dari chip H20 yang telah terkena blokir. Namun, rencana tersebut akhirnya batal karena desainnya masih dianggap terlalu canggih untuk memenuhi syarat ekspor ke China di bawah aturan baru pemerintah AS.

Penyesuaian ini bukan yang pertama dilakukan Nvidia. Sejak ketegangan geopolitik AS–China meningkat, Nvidia telah tiga kali melakukan modifikasi terhadap desain GPU-nya demi menyesuaikan dengan pembatasan ekspor. Namun, pembatasan yang terus diperbarui membuat perusahaan harus terus memutar otak agar tetap bisa berkompetisi di pasar yang berubah cepat.

China bukanlah pasar kecil bagi Nvidia. Tahun lalu, penjualan ke China menyumbang sekitar 13% dari total pendapatan perusahaan, menjadikannya salah satu pasar internasional terbesar bagi Nvidia. Maka tak heran jika Nvidia terlihat agresif dalam merancang strategi baru untuk bertahan di tengah tekanan politik yang makin keras.

Di sisi lain, kebijakan pemerintahan Trump dalam membatasi akses China terhadap teknologi tinggi—termasuk chip AI dan semikonduktor canggih—disebut sebagai bagian dari strategi besar untuk menjaga dominasi AS dalam bidang teknologi serta mencegah Beijing memanfaatkan teknologi AS untuk kepentingan militer atau pengawasan domestik.

Namun, langkah ini juga membawa risiko bagi perusahaan-perusahaan asal AS sendiri. Hilangnya pasar sebesar China tentu akan berdampak pada pendapatan dan posisi kompetitif mereka secara global. Maka dari itu, banyak perusahaan termasuk Nvidia kini berada dalam posisi dilematis: mengikuti regulasi pemerintah sembari tetap berusaha mempertahankan pendapatan dari pasar luar negeri.

Kisah Nvidia ini menjadi potret nyata dari benturan antara kepentingan geopolitik dan strategi bisnis global. Ketika persaingan antara dua raksasa dunia—AS dan China—memanas, perusahaan-perusahaan teknologi seperti Nvidia harus mengambil keputusan sulit agar tidak tersingkir dari permainan.

Apakah chip AI baru ini akan cukup untuk menjaga dominasi Nvidia di tengah tekanan yang semakin berat? Ataukah ini hanyalah strategi jangka pendek sebelum ketegangan geopolitik mengubah lanskap industri teknologi global secara permanen? Hanya waktu yang bisa menjawab.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved