Nasib iPhone 16 di Indonesia: Menguak Drama Investasi Apple yang Belum Terjawab
Tanggal: 26 Jan 2025 21:22 wib.
Negosiasi antara pemerintah Indonesia dan Apple mengenai penjualan iPhone 16 di Tanah Air kini menunjukkan tanda-tanda penyelesaian. Menteri Investasi, Rosan Roeslani, mengungkapkan optimismenya saat berbicara kepada media internasional di ajang Davos, Swiss.
“Semoga dalam satu atau dua minggu ke depan, masalah ini [investasi Apple] bisa terselesaikan,” kata Rosan, seperti dilaporkan Bloomberg TV dan dikutip oleh Reuters, Kamis (23/1/2025).
Hingga saat ini, pihak Apple belum memberikan tanggapan resmi terkait perkembangan tersebut.
Masalah Utama: Sertifikat TKDN Habis Masa Berlaku
Larangan penjualan seri iPhone 16 di Indonesia disebabkan oleh berakhirnya masa berlaku sertifikat Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang dimiliki Apple. Pemerintah tak dapat memperpanjang sertifikat tersebut karena Apple belum memenuhi seluruh komitmen investasi dari periode 2020-2023.
Apple masih memiliki kewajiban sebesar US$10 juta atau sekitar Rp162 miliar yang sejatinya harus diselesaikan paling lambat pada Juni 2023. Namun, hingga saat ini, komitmen tersebut belum direalisasikan secara penuh.
Dalam upaya penyelesaian masalah ini, Apple mengajukan proposal investasi terbaru berupa pembangunan pabrik AirTag di Batam dengan nilai mencapai US$1 miliar atau setara Rp16 triliun. Namun, nilai tersebut dianggap belum memenuhi standar keadilan yang ditetapkan oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin).
Investasi AirTag di Batam: Realita vs Klaim
Juru Bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri Antoni Arif, mengungkapkan bahwa hingga kini pihaknya belum menerima revisi proposal dari Apple. Menurut Febri, alasan keterlambatan ini adalah karena Apple memerlukan waktu tambahan untuk menyempurnakan rencana investasinya.
Namun, Febri menyebut bahwa klaim investasi senilai US$1 miliar untuk pembangunan pabrik AirTag kemungkinan tidak sepenuhnya sesuai dengan nilai riil. Ia memperkirakan angka sebenarnya hanya sekitar US$200 juta atau setara Rp3,2 triliun.
“Berdasarkan analisis teknokratis kami, nilai riil investasi Apple di Batam hanya US$200 juta. Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan klaim Apple sebesar US$1 miliar,” ungkap Febri.
Menurutnya, sebagian besar komponen dalam proposal investasi Apple, seperti proyeksi nilai ekspor dan pembelian bahan baku, tidak dapat dimasukkan sebagai bagian dari belanja modal (capital expenditure atau capex).
“Nilai investasi yang sebenarnya hanya dihitung dari belanja modal, yaitu pembelian lahan, pembangunan gedung, serta pengadaan mesin dan teknologi. Jika memang angka US$1 miliar benar-benar digunakan untuk capex, tentu dampaknya akan jauh lebih besar, terutama dalam hal penyerapan tenaga kerja,” tambah Febri.
Potensi Pabrik AirTag untuk Ekonomi Lokal
Pabrik AirTag yang direncanakan di Batam diproyeksikan dapat memenuhi sekitar 60% kebutuhan global produk tersebut. Fasilitas ini juga diharapkan dapat mulai beroperasi pada 2026 dan menyerap sekitar 2.000 tenaga kerja. Meski demikian, dengan nilai riil investasi yang jauh lebih kecil dari klaim awal, pemerintah masih mempertanyakan komitmen Apple dalam investasi jangka panjang di Indonesia.
Febri menegaskan bahwa nilai investasi yang benar-benar berdampak besar harus mencakup belanja modal yang nyata. Jika Apple benar-benar mengalokasikan US$1 miliar untuk pembangunan pabrik di Batam, dampaknya terhadap perekonomian lokal akan sangat signifikan.
“Bayangkan jika seluruh investasi itu difokuskan pada belanja modal, seperti tanah, bangunan, serta teknologi. Jumlah tenaga kerja yang terserap akan jauh lebih besar, dan ini akan menjadi keuntungan besar bagi Indonesia,” jelas Febri.
Harapan dan Tantangan untuk Apple
Pemerintah Indonesia menaruh harapan besar agar Apple dapat memenuhi standar investasi yang adil dan berdampak positif bagi ekonomi lokal. Di sisi lain, Apple mengklaim bahwa pihaknya membutuhkan lebih banyak waktu untuk membawa rantai pasok global (Global Value Chain) ke Indonesia, serta membangun fasilitas produksi dengan infrastruktur yang memadai.
Meski demikian, Febri menegaskan bahwa hambatan birokrasi dan regulasi bukanlah alasan utama di balik lambatnya realisasi investasi Apple. Sejak 2017, Apple telah berbisnis di Indonesia dengan menggunakan fasilitas yang diatur oleh Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 29 Tahun 2017. Hingga kini, Apple tidak pernah mengeluhkan birokrasi atau regulasi yang menghambat proses bisnis mereka di Indonesia.
Pemerintah berharap bahwa dengan revisi proposal yang lebih konkret, Apple dapat segera merealisasikan komitmennya dan kembali mendapatkan sertifikat TKDN. Jika hal ini tidak tercapai, pemerintah memiliki opsi untuk memberikan sanksi lebih berat, termasuk pembekuan atau bahkan pencabutan sertifikat TKDN yang akan menghalangi penjualan produk Apple di Indonesia.