Miris, 50 Persen Anak Indnesia Terpapar Konten Seksual di Internet
Tanggal: 5 Feb 2025 17:21 wib.
Paparan konten berbahaya di internet semakin mengkhawatirkan, terutama bagi anak-anak. Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi), Meutya Hafid, mengungkapkan bahwa 50,3 persen anak-anak di Indonesia telah melihat konten seksual di internet. Data ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan angka paparan tertinggi keempat di dunia.
"Namun data berbicara bahwa 22 persen anak-anak bahkan tidak menaati aturan orang tua mengenai durasi online mereka. Ini menunjukkan betapa besarnya daya tarik dunia digital bagi anak-anak, tapi tanpa pengawasan yang baik, mereka bisa tersesat di dalamnya," kata Meutya dalam Sidang Terbuka dan Orasi Ilmiah Dies Natalis ke-75 Universitas Indonesia, Senin (3/2/2025).
Tidak hanya soal konten seksual, lebih dari 13 persen anak-anak di Indonesia diketahui memiliki akun rahasia yang tidak diketahui orang tua mereka. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak semakin bebas berselancar di dunia maya tanpa pengawasan yang cukup.
Menurut data Safe Online 2023, sebanyak dua per tiga orang tua di Indonesia masih belum memiliki pemahaman cukup tentang cara mendampingi anak dalam penggunaan internet. Ini menjadi masalah serius, mengingat risiko eksploitasi digital semakin tinggi.
"Banyak orang tua yang masih beranggapan bahwa memberikan anak akses ke internet sama dengan memberikan kebebasan belajar dan hiburan. Padahal, tanpa pengawasan dan edukasi yang cukup, mereka bisa mengakses hal-hal yang tidak seharusnya," tambah Meutya.
Paparan konten seksual di usia dini bisa berdampak buruk pada perkembangan psikologis anak. Beberapa efek negatif yang bisa terjadi antara lain:
Perubahan perilaku, Anak-anak yang terlalu sering mengakses konten dewasa bisa mengalami perubahan perilaku dan mengalami perkembangan emosional yang tidak sesuai dengan usianya.
Normalisasi kekerasan seksual, Paparan konten seksual dapat membuat anak berpikir bahwa hubungan seksual tanpa batasan dan eksploitasi adalah sesuatu yang wajar.
Ketergantungan digital, Kebiasaan menjelajah dunia maya tanpa kontrol bisa menyebabkan kecanduan internet, yang akhirnya berdampak pada prestasi akademik dan kesehatan mental anak.
Ancaman predator online, Tanpa pengawasan orang tua, anak-anak lebih rentan menjadi target eksploitasi dan kejahatan siber, seperti grooming online dan pemerasan digital.
Peran Orang Tua dan Pemerintah
Mengatasi masalah ini memerlukan peran aktif dari berbagai pihak, terutama orang tua dan pemerintah. Beberapa langkah yang bisa dilakukan adalah:
Meningkatkan edukasi digital bagi orang tua, Orang tua harus memahami cara mendampingi anak dalam menggunakan internet dengan bijak, termasuk mengawasi konten yang mereka akses.
Membatasi durasi penggunaan gadget, Memberikan batasan waktu untuk anak menggunakan internet bisa mengurangi risiko terpapar konten negatif.
Menggunakan aplikasi parental control, Saat ini, banyak aplikasi yang bisa membantu orang tua memantau aktivitas online anak dan memblokir konten berbahaya.
Peningkatan regulasi dari pemerintah, Pemerintah harus lebih ketat dalam menyaring dan menghapus konten-konten yang tidak pantas untuk anak-anak di dunia maya.
Meutya Hafid menegaskan bahwa pihaknya akan terus berupaya memperketat pengawasan terhadap konten digital dan meningkatkan literasi digital bagi masyarakat, terutama orang tua dan anak-anak.
"Kami akan menggandeng berbagai pihak, termasuk penyedia layanan internet, sekolah, dan komunitas digital, agar anak-anak bisa menggunakan internet dengan lebih aman," tutupnya.
Dengan 50,3 persen anak-anak Indonesia sudah terpapar konten seksual di internet, ini menjadi alarm bagi orang tua dan pemerintah untuk segera mengambil tindakan. Kurangnya pengawasan dan literasi digital menjadi faktor utama yang memperburuk kondisi ini.
Diperlukan kerja sama antara orang tua, pemerintah, dan masyarakat untuk melindungi generasi muda dari dampak buruk internet, sehingga anak-anak bisa tumbuh dalam lingkungan digital yang lebih sehat dan aman.