Miliaran Rupiah untuk Otak Cerdas: Persaingan Gila Perusahaan Teknologi Demi Merekrut Peneliti AI
Tanggal: 23 Mei 2025 07:00 wib.
Di tengah ledakan inovasi teknologi, pekerjaan sebagai peneliti kecerdasan buatan (AI) kini menjadi profesi paling diburu oleh raksasa teknologi dunia seperti OpenAI, Google, dan perusahaan AI independen lainnya. Bukan hanya soal prestise, tetapi juga tawaran kompensasi yang menggiurkan hingga mencapai miliaran rupiah. Persaingan sengit ini menjadi pertanda betapa vitalnya peran para peneliti dalam mendorong revolusi AI ke tahap berikutnya.
Dalam laporan eksklusif yang dikutip dari Reuters, setidaknya tujuh sumber mengonfirmasi bahwa para peneliti AI kini menerima paket gaji dan bonus luar biasa besar dari berbagai perusahaan teknologi. Mereka yang memiliki keahlian tinggi dan pengalaman dalam pengembangan AI generatif bahkan bisa memperoleh lebih dari Rp 160 miliar per tahun.
Bonus Raksasa demi Loyalitas
Salah satu yang menjadi sorotan adalah SSI, perusahaan yang didirikan oleh mantan kepala ilmuwan OpenAI, Ilya Sutskever. SSI disebut-sebut memberikan bonus retensi hingga US$2 juta (sekitar Rp 32,6 miliar) kepada peneliti yang mau tetap tinggal. Tak hanya itu, peneliti tersebut juga ditawari peningkatan ekuitas senilai US$20 juta (sekitar Rp 326,3 miliar) atau bahkan lebih.
Tawaran ini bukanlah hal yang langka di kalangan elite AI. Di OpenAI sendiri, beberapa peneliti disebut mendapat bonus sebesar US$1 juta (sekitar Rp 16,3 miliar) agar tetap bertahan dan tidak pindah ke perusahaan pesaing. Meski begitu, beberapa tetap memilih hengkang, salah satunya menuju perusahaan AI berbasis suara, Eleven Labs.
Salah satu sumber dalam laporan tersebut bahkan menyebut bahwa peneliti senior di OpenAI menerima total kompensasi lebih dari US$10 juta (Rp 163,1 miliar) per tahun. Angka yang luar biasa untuk profesi ilmiah dan menandakan betapa pentingnya keahlian dalam bidang ini.
Google DeepMind Tak Mau Kalah
Tak ingin kalah dalam perlombaan, Google DeepMind, cabang AI milik Google, juga menawarkan paket kompensasi sebesar US$20 juta per tahun bagi para peneliti papan atas. Lebih dari sekadar uang tunai, mereka juga memberikan hibah ekuitas di luar siklus kompensasi biasa. Bahkan, Google memangkas periode vesting saham dari empat tahun menjadi tiga tahun agar peneliti mendapatkan haknya lebih cepat.
Kebijakan ini menunjukkan bahwa perusahaan teknologi kini benar-benar berinvestasi besar pada talenta yang dapat mendorong kemajuan AI, terutama di era di mana teknologi seperti ChatGPT, Gemini, dan Claude tengah mendominasi lanskap digital dunia.
Perburuan Talenta oleh Para Raksasa Teknologi
Fenomena ini turut dikomentari oleh Ariel Herbert-Voss, mantan peneliti di OpenAI, yang kini mendirikan startup AI-nya sendiri, RunSybil. Menurutnya, perusahaan teknologi besar bergerak sangat cepat dan siap membayar sangat mahal demi mendapatkan kandidat terbaik.
“Mereka bertindak seperti dalam permainan strategi,” ujarnya. “Seolah-olah sedang menyusun pasukan dengan cermat—mereka mencari benteng, ksatria, dan pion yang paling kuat untuk memenangkan perang AI.”
Persaingan ini bahkan membuat para pemimpin perusahaan besar langsung turun tangan dalam proses perekrutan. Salah satu contohnya adalah Noam Brown, sosok penting di balik sejumlah terobosan besar di OpenAI. Pada tahun 2023, saat ia sedang mempertimbangkan peluang kerja baru, ia diundang oleh tokoh-tokoh besar seperti Sergey Brin (pendiri Google) untuk makan siang pribadi dan bahkan bermain poker di rumah Sam Altman, CEO OpenAI.
Akhirnya, Brown memilih untuk tetap bersama OpenAI, bukan karena tawaran gaji tertinggi, tetapi karena dedikasi perusahaan terhadap visi dan sumber daya yang sesuai dengan minat risetnya.
Uang Bukan Segalanya bagi Para Peneliti
Menariknya, meskipun tawaran gaji mencapai ratusan miliar rupiah, banyak peneliti AI tidak semata-mata tertarik pada kompensasi. Faktor yang lebih menentukan justru adalah kesempatan untuk mengerjakan riset yang mereka sukai, akses ke sumber daya komputasi besar, dan dukungan dari tim yang memiliki visi sejalan.
Brown menegaskan bahwa meskipun keputusannya untuk bergabung dengan OpenAI bukanlah pilihan terbaik secara finansial, ia tetap menjalaninya karena merasa diberi ruang untuk mengembangkan idenya.
Hal ini memperlihatkan bahwa semangat ilmiah dan rasa ingin tahu masih menjadi penggerak utama bagi para peneliti AI, meski mereka dikelilingi oleh tawaran yang sangat menggiurkan.
Era Baru: Talenta AI Jadi Mata Uang Baru
Kondisi ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa pengetahuan dan keahlian dalam AI telah menjadi "mata uang baru" di era digital. Para peneliti tak lagi dipandang sebagai pekerja di balik layar, melainkan sebagai aset strategis yang bisa menentukan arah masa depan perusahaan teknologi global.
Dengan meningkatnya kebutuhan akan pengembangan model AI yang lebih pintar, efisien, dan aman, tak heran jika perusahaan-perusahaan kini rela merogoh kocek dalam-dalam demi mempertahankan dan merekrut para talenta terbaik.
Kita sedang menyaksikan babak baru dari revolusi industri digital, di mana bukan lagi tambang emas atau minyak yang diperebutkan, melainkan otak-otak brilian di bidang AI.