Microsoft Tunda Pusat Data AI di Jakarta: Strategi Baru atau Tanda Bahaya di Balik Ambisi Teknologi?
Tanggal: 10 Apr 2025 13:01 wib.
Microsoft Corporation dilaporkan menunda sejumlah rencana pembangunan pusat data kecerdasan buatan (AI) dan cloud di berbagai negara, termasuk Indonesia. Penundaan ini menimbulkan spekulasi di kalangan investor dan pengamat industri teknologi mengenai arah dan prioritas baru perusahaan raksasa asal Redmond tersebut.
Menurut sumber dari Bloomberg, Microsoft baru-baru ini menghentikan beberapa pembicaraan strategis serta pengembangan pusat data yang telah direncanakan di sejumlah lokasi global seperti Jakarta, Inggris, Australia, Illinois, North Dakota, dan Wisconsin. Langkah ini tampaknya menjadi sinyal bahwa perusahaan sedang melakukan evaluasi ulang terhadap skala investasi dan infrastruktur digital mereka, khususnya dalam menyokong layanan AI yang tengah berkembang pesat.
Sebagai salah satu pionir dalam layanan AI, terutama berkat kolaborasinya dengan OpenAI, Microsoft selama ini menjadi sorotan dalam ekosistem teknologi global. Namun, keputusan untuk menghentikan beberapa proyek besar menimbulkan pertanyaan: apakah permintaan terhadap layanan cloud dan AI menurun, atau justru Microsoft sedang menghadapi tantangan teknis dan logistik dalam merealisasikan ambisinya?
Tanda-tanda Penghematan atau Strategi Jangka Panjang?
Meskipun juru bicara Microsoft menyatakan bahwa perubahan ini adalah bagian dari strategi adaptif terhadap lonjakan permintaan AI dan perluasan data center, tidak sedikit yang menganggap langkah ini sebagai bentuk penghematan. Sejumlah investor bahkan menilai, pemangkasan proyek bisa menandakan adanya ketidakseimbangan antara proyeksi pertumbuhan permintaan dan realisasi infrastruktur yang sangat mahal dan kompleks.
Kekhawatiran ini turut membebani pergerakan saham perusahaan teknologi, termasuk Microsoft sendiri yang mengalami penurunan sekitar 9% sepanjang tahun ini. Perusahaan chip seperti Nvidia juga ikut terdampak, mengingat sebagian besar kapasitas data center memang membutuhkan chip berkinerja tinggi.
Sebagai perbandingan, Microsoft tercatat menggelontorkan dana hingga US$262 juta hanya dalam enam bulan pertama untuk proyek pusat data di Wisconsin, dengan US$40 juta di antaranya hanya untuk pembelian beton. Pengeluaran masif seperti ini tentu memicu perhitungan ulang atas efisiensi proyek serupa di wilayah lain, termasuk Indonesia.
Proyek di Jakarta Terpengaruh, Tapi Tidak Dibekukan Total
Salah satu proyek yang terdampak adalah pembangunan pusat data Microsoft di wilayah sekitar Jakarta. Meski beberapa bagian dari kampus data center dihentikan pengerjaannya, perwakilan Microsoft di Indonesia menyebut bahwa proyek pusat data untuk wilayah "Indonesia Central" masih berada di jalur yang tepat untuk beroperasi pada kuartal kedua 2025.
Pernyataan tersebut memberikan sedikit kejelasan bahwa meskipun terdapat penyesuaian atau penundaan, proyek ini tidak sepenuhnya dibatalkan. Namun, tetap saja hal ini menunjukkan adanya perubahan signifikan dalam arah pengembangan cloud infrastructure Microsoft secara global.
Negosiasi yang Terbengkalai dan Kemitraan yang Berubah
Selain Jakarta, Microsoft juga disebut telah menarik diri dari sejumlah negosiasi penting di lokasi strategis, termasuk antara London dan Cambridge, Inggris, serta lokasi dekat Chicago, AS. Bahkan, negosiasi penyewaan ruang dengan CoreWeave Inc. juga dibatalkan secara sepihak oleh Microsoft.
Menariknya, pembatalan ini terjadi di tengah dinamika yang kompleks antara Microsoft dan mitra utamanya, OpenAI. OpenAI diketahui telah menjalin kemitraan dengan SoftBank dan Oracle dalam rencana pengembangan infrastruktur AI senilai US$100 hingga US$500 miliar. Langkah ini bisa menjadi salah satu alasan mengapa Microsoft memutuskan untuk menyesuaikan strategi pusat datanya, dengan potensi pergeseran beban komputasi dari Microsoft ke Oracle.
CEO CoreWeave, Michael Intrator, menyebut bahwa pihaknya tetap optimis karena telah menemukan pembeli lain untuk kapasitas cloud yang semula ditawarkan ke Microsoft. Menurutnya, kemunduran Microsoft lebih bersifat spesifik dan tidak mencerminkan kondisi industri secara keseluruhan.
Tantangan Infrastruktur: Energi, Bahan Baku, dan Waktu
Seiring meningkatnya kompleksitas proyek pusat data, Microsoft juga menghadapi tantangan teknis seperti keterbatasan tenaga kerja, pasokan energi, dan bahan bangunan. Direktur dari datacenter Hawk, Ed Socia, menjelaskan bahwa perubahan rencana dalam pengembangan server farm sangat umum di industri cloud. Menurutnya, perusahaan sering kali harus memutar haluan untuk mengutamakan pasar yang lebih siap dalam hal dukungan infrastruktur.
Sebagai contoh, proyek di Mount Pleasant, Wisconsin, yang sempat dikunjungi Presiden Joe Biden, juga mengalami perlambatan meskipun tetap mendapat dukungan dari Microsoft secara finansial. Proyek itu akan dilanjutkan, namun fokus pengembangannya disesuaikan dengan dinamika lapangan.
Potensi Bubble di Industri Pusat Data?
Kekhawatiran akan munculnya bubble dalam pembangunan pusat data juga mulai disuarakan. Chairman Alibaba Group, Joe Tsai, menyebut bahwa pertumbuhan pesat dalam pembangunan data center bisa jadi melampaui permintaan riil terhadap layanan AI. Jika ini benar, bisa terjadi kelebihan pasokan infrastruktur sebelum pasar siap menyerap sepenuhnya kapasitas tersebut.
Senada dengan itu, analis dari TD Cowen mencatat bahwa Microsoft telah meninggalkan sejumlah proyek baru di AS dan Eropa dengan potensi kapasitas mencapai 2 gigawatt listrik. Mereka menilai bahwa hal ini merupakan sinyal bahwa pertumbuhan pusat data tidak secepat yang sebelumnya diperkirakan.
Meski demikian, Microsoft tetap menegaskan komitmennya terhadap proyek-proyek besar yang telah dimulai, termasuk investasi senilai US$3,3 miliar di Wisconsin dan peluncuran wilayah cloud di Indonesia. Perusahaan menyatakan bahwa strategi mereka bersifat fleksibel, dan perubahan yang terjadi saat ini merupakan bagian dari penyusunan ulang prioritas global dalam menjawab tantangan dan peluang AI ke depan.
Kesimpulan
Penundaan pembangunan pusat data AI oleh Microsoft bisa dilihat dari dua sisi: sebagai langkah strategis dalam mengelola efisiensi investasi, atau sebagai sinyal kehati-hatian di tengah gejolak industri teknologi yang berkembang sangat cepat. Apa pun alasannya, keputusan ini akan menjadi sorotan penting dalam arah masa depan AI dan cloud computing global.