Meta Tawarkan Rp1,6 Triliun ke Peneliti AI, Tapi Tak Ada yang Mau Pindah: Kenapa?
Tanggal: 20 Jun 2025 14:01 wib.
Dalam persaingan global yang semakin intens untuk mendominasi teknologi kecerdasan buatan (AI), Meta — perusahaan induk Facebook — gencar merekrut peneliti-peneliti AI terkemuka. CEO Meta, Mark Zuckerberg, kini tengah membentuk tim superintelligence yang ambisius, dengan menggandeng mantan CEO Scale AI, Alexandr Wang, sebagai pemimpin tim tersebut. Tujuan utamanya: memenangkan perlombaan menuju pengembangan Artificial General Intelligence (AGI), bentuk kecerdasan buatan yang digadang-gadang mampu melampaui kemampuan manusia.
Namun meski menawarkan paket gaji fantastis hingga US$100 juta atau sekitar Rp1,6 triliun, upaya Meta tampaknya belum membuahkan hasil. Menurut CEO OpenAI, Sam Altman, tawaran menggiurkan Meta kepada sejumlah staf kunci di OpenAI justru tidak berhasil menggoyahkan loyalitas timnya.
Gaji Triliunan, Tapi Tak Cukup Bikin Pindah
Dalam sebuah podcast bersama saudaranya, Jack Altman, Sam Altman membeberkan bahwa Meta telah menghubungi sejumlah peneliti top di OpenAI dan Google DeepMind, termasuk menawarkan bonus penandatanganan kontrak sebesar US$100 juta.
Namun, Altman menyatakan dengan bangga bahwa tidak ada dari staf terbaiknya yang menerima tawaran tersebut. Menurutnya, ini bukan karena uang tidak menarik, tapi karena para peneliti tersebut percaya terhadap misi dan masa depan OpenAI.
“Meta menawarkan banyak hal kepada tim kami, tapi sejauh ini, semua orang terbaik kami memilih untuk tetap bersama kami,” ungkap Altman, seperti dikutip dari Tech Crunch pada Kamis (19/6/2025).
AGI: Perebutan Masa Depan Dunia AI
Perlombaan pengembangan Artificial General Intelligence (AGI) menjadi medan utama bagi perusahaan teknologi seperti Meta, OpenAI, dan Google. AGI diyakini akan menjadi bentuk AI tertinggi—mampu berpikir, belajar, dan menyelesaikan tugas seperti manusia, tanpa perlu banyak perintah.
Altman menegaskan bahwa OpenAI memiliki peluang lebih besar untuk mencapai AGI, dibandingkan Meta. Ia mengkritik pendekatan Meta yang dinilainya lebih berfokus pada uang dan kompensasi, dibandingkan dengan inovasi dan nilai misi.
Altman pun menyindir bahwa upaya Meta bukan bagian dari visi besar AI, melainkan lebih kepada strategi mengisi kekosongan tim dengan talenta mahal. “Mereka hanya ingin mengejar ketertinggalan, tapi tidak punya fondasi kuat dalam budaya inovasi,” ujarnya.
Meta Gagal Rekrut Nama Besar AI
Sejumlah laporan menyebut bahwa Meta juga sempat mendekati tokoh-tokoh penting dalam dunia AI, seperti Noam Brown (peneliti utama OpenAI) dan Koray Kavukcuoglu (arsitek AI Google). Namun, upaya rekrutmen terhadap kedua tokoh tersebut juga gagal.
Ini memperkuat pernyataan Altman bahwa budaya kerja dan arah visi perusahaan adalah faktor utama yang dipertimbangkan oleh para peneliti AI, bukan hanya gaji atau bonus besar semata.
Inovasi, Bukan Sekadar Dana Besar
Menurut Altman, keberhasilan OpenAI selama ini tidak lepas dari budaya inovasi yang konsisten dan terarah. Ia percaya bahwa perusahaan hebat tidak akan bisa bersaing hanya dengan meniru dan mengejar ketertinggalan, tetapi harus memiliki kekuatan dalam inovasi yang otentik dan misi yang jelas.
Meskipun ia tetap menghargai kontribusi Meta di dunia teknologi, Altman menyatakan bahwa perusahaan tersebut belum menunjukkan keunggulan berarti dalam bidang inovasi AI.
Masa Depan AGI Masih Terbuka
Perkembangan AGI masih dalam tahap awal dan belum satu pun perusahaan berhasil mencapainya secara penuh. Namun, langkah-langkah agresif Meta menunjukkan bahwa pertarungan menuju dominasi AI global belum berakhir. Tawaran dengan nilai triliunan rupiah mencerminkan betapa pentingnya talenta manusia dalam kemajuan teknologi AI, bahkan di era otomatisasi sekalipun.
Namun dari kasus ini, bisa ditarik kesimpulan bahwa visi jangka panjang, budaya kerja yang sehat, dan kepercayaan pada misi adalah hal-hal yang jauh lebih bernilai bagi banyak peneliti top, dibandingkan dengan iming-iming uang besar.
OpenAI vs Meta: Bukan Soal Siapa Paling Kaya, Tapi Siapa Paling Inovatif
Pertarungan antara OpenAI dan Meta bukan hanya soal uang dan popularitas. Ini adalah adu strategi, nilai, dan visi. Di saat Meta mencoba membangun kekuatan lewat akuisisi talenta dengan kompensasi tinggi, OpenAI justru memperkuat barisan dengan misi besar: membangun AGI demi masa depan umat manusia.
Apa pun hasil akhirnya, satu hal jelas: masa depan AI akan sangat dipengaruhi oleh siapa yang bisa menjaga kualitas, inovasi, dan etika, bukan sekadar siapa yang bisa membayar paling mahal.