Sumber foto: iStock

Meta Tawarkan Bonus Rp1,6 Triliun untuk Bajak Pegawai OpenAI? Sam Altman Akhirnya Angkat Bicara!

Tanggal: 23 Jun 2025 11:53 wib.
Persaingan di dunia kecerdasan buatan (AI) tidak hanya terjadi di ranah teknologi, tetapi juga dalam perebutan talenta terbaik. Baru-baru ini, CEO OpenAI Sam Altman mengungkapkan strategi agresif yang dilakukan oleh Meta, induk perusahaan Instagram, Facebook, dan WhatsApp, dalam upaya mengejar ketertinggalan mereka di bidang AI. Dalam sebuah podcast bertajuk Uncapped, Altman membeberkan bagaimana Meta secara terang-terangan menawarkan bonus bernilai fantastis demi merekrut pegawai dari OpenAI.

Menurut Altman, sejumlah anggota timnya menerima tawaran yang tidak masuk akal dari Meta. “Mereka [Meta] menawarkan hal-hal gila kepada banyak tim kami. Bahkan ada bonus tanda tangan sebesar US$ 100 juta, dengan potensi penghasilan tahunan yang bisa melebihi angka itu,” ujarnya. Bila dirupiahkan, bonus tersebut setara dengan sekitar Rp1,6 triliun — angka yang cukup fantastis untuk satu orang.

Namun, Altman menegaskan bahwa hingga saat ini, tidak ada anggota tim terbaik OpenAI yang menerima tawaran tersebut. Hal ini menunjukkan loyalitas tinggi para pegawai terhadap misi dan nilai yang dibawa oleh OpenAI. Meski demikian, pernyataan Altman juga mencerminkan betapa sengitnya perang talenta di industri AI, di mana satu orang saja bisa dianggap sebagai penentu arah kesuksesan sebuah platform.

Menurut laporan Reuters, saat ini para raksasa teknologi memandang individu dengan keahlian luar biasa di bidang AI sebagai aset utama. Bahkan satu talenta kunci bisa membawa perbedaan besar bagi keberhasilan pengembangan sistem AI mutakhir. Hal ini menjadi alasan di balik langkah agresif Meta dan perusahaan besar lainnya dalam memburu tenaga ahli, bahkan dengan iming-iming kompensasi yang sangat tinggi.

Sam Altman menyebut bahwa Meta menganggap OpenAI sebagai kompetitor paling serius dalam perlombaan menuju kecerdasan buatan tingkat tinggi. “Saya dengar mereka [Meta] melihat kami sebagai saingan terberat mereka,” kata Altman dalam pernyataannya.

Sebagai bagian dari strategi besar mereka, Meta baru-baru ini melakukan investasi senilai US$ 14,3 miliar ke Scale AI, sebuah startup yang digawangi oleh Alexandr Wang, tokoh muda yang kerap disebut sebagai “bocah ajaib” di dunia AI. Langkah ini dianggap sebagai cara Meta untuk mengamankan bakat dan pengalaman Wang, sekaligus menunjuknya untuk memimpin proyek ambisius mereka dalam membangun apa yang disebut sebagai “kecerdasan super” atau superintelligence.

Berbeda dengan OpenAI yang mengembangkan teknologi AI secara tertutup dan berlisensi terbatas, Meta mengambil jalur open source. Mereka secara terbuka merilis model AI-nya agar bisa digunakan dan dimodifikasi oleh komunitas pengembang global. Tujuannya adalah mempercepat inovasi melalui kolaborasi terbuka dan kontribusi kolektif dari berbagai pihak.

Namun, strategi open source yang diusung Meta tidak selalu berjalan mulus. Dalam beberapa bulan terakhir, perusahaan yang dipimpin oleh Mark Zuckerberg itu mengalami sejumlah masalah serius, mulai dari hengkangnya beberapa pegawai penting, hingga dibatalkannya peluncuran model AI terbaru yang sebelumnya digadang-gadang bisa bersaing dengan produk dari Google dan DeepSeek.

Ketidakstabilan ini menjadi tantangan tersendiri bagi Meta di tengah ambisinya untuk menyusul ketertinggalan dalam bidang AI. Meskipun menggelontorkan dana besar dan mencoba merekrut para ahli terbaik, keandalan dan arah strategis perusahaan tetap menjadi faktor penting dalam keberhasilan jangka panjang.

Sementara itu, OpenAI terus melanjutkan pengembangan teknologi AI mereka, termasuk ChatGPT dan GPT-5 yang kabarnya akan membawa lompatan besar dalam performa dan efisiensi. Di sisi lain, Altman juga tengah menghadapi tekanan dari publik dan regulator terkait isu transparansi dan etika penggunaan AI, terutama dalam skala global yang semakin kompleks.

Perebutan kekuasaan di bidang AI ini tidak hanya akan membentuk masa depan teknologi, tetapi juga memengaruhi arah kebijakan, industri, hingga kehidupan sehari-hari. Siapa yang berhasil menguasai teknologi kecerdasan super, berpotensi mendefinisikan ulang bagaimana dunia bekerja di era digital mendatang.

Dalam konteks ini, perebutan sumber daya manusia—terutama yang memiliki kompetensi luar biasa dalam machine learning, model bahasa besar, dan infrastruktur AI—akan terus menjadi faktor kunci. Tawaran kompensasi besar hanyalah satu bagian dari persaingan tersebut. Budaya kerja, visi jangka panjang, dan komitmen terhadap nilai-nilai etis juga akan menjadi faktor penentu dalam menarik dan mempertahankan talenta terbaik.

Perang AI belum usai, dan tampaknya akan semakin panas. Apakah Meta mampu mengejar ketertinggalannya dan menyaingi OpenAI? Ataukah OpenAI tetap akan menjadi pemimpin dalam gelombang revolusi teknologi terbesar abad ini?

Kita tunggu babak selanjutnya.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved