KPPU Vs Google, Benar Dominasi atau Monopoli?
Tanggal: 23 Feb 2025 12:20 wib.
Tampang.com | Direktur Ekonomi Digital di Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, memberikan pandangannya terkait sistem Google Play Billing (GPB) serta dugaan praktik monopoli yang dilakukan Google melalui sistem tersebut.
Nailul menilai bahwa dalam ekosistem digital, keberadaan platform besar seperti Google Play memang mendominasi pasar aplikasi. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apakah dominasi ini menyebabkan adanya pemaksaan bagi pengembang untuk menggunakan sistem pembayaran Google.
"Ketika membandingkan dengan ekosistem lain seperti Apple App Store, kita melihat pola yang serupa. Apple juga menerapkan kebijakan pembayaran khusus bagi aplikasinya. Namun, perbedaan utamanya adalah pada struktur pasar dan pilihan alternatif yang tersedia bagi pengguna Android, seperti Xiaomi Store atau Huawei Store, yang tetap bisa digunakan di perangkat Android," ujarnya.
Google Play Billing (GPB) adalah sistem yang memungkinkan pengembang aplikasi Android menjual produk dan konten digital dalam aplikasi mereka. Sistem ini menyediakan serangkaian API untuk integrasi dengan aplikasi Android dan server backend, sehingga pengguna dapat melakukan pembelian dengan aman melalui Google Play.
Kebijakan dan Kontroversi
Kebijakan Google mengharuskan pengembang yang menawarkan pembelian dalam aplikasi untuk menggunakan Google Play Billing sebagai metode pembayaran. Hal ini bertujuan untuk memberikan kemudahan transaksi bagi jutaan pengguna di seluruh dunia dan memudahkan mereka mengelola pembayaran dari satu lokasi pusat.
Namun, KPPU Indonesia menilai kebijakan GPB ini sebagai praktik bisnis yang tidak adil. KPPU menjatuhkan denda sebesar Rp202,5 miliar kepada Google karena dianggap menyalahgunakan posisi dominannya dengan mewajibkan pengembang aplikasi Indonesia menggunakan Google Play Billing dengan biaya hingga 30%.
Menurut Nailul, persoalan utama yang dikritisi adalah besaran biaya yang dibebankan kepada developer.
"Jika komisi tersebut sebanding dengan layanan yang diberikan dan tidak bersifat memaksa, maka seharusnya tidak menjadi masalah. Namun, jika benar terdapat indikasi bahwa Google menggunakan posisinya sebagai pemimpin pasar untuk membatasi pilihan pembayaran, maka ini bisa menjadi isu persaingan usaha yang perlu ditelaah lebih lanjut," jelasnya.
Google diketahui tengah mengajukan banding terhadap putusan KPPU terkait praktik bisnis perusahaan dalam ekosistem aplikasi digital. Dalam keterangannya, Google menyatakan bahwa keputusan KPPU mengandung banyak ketidakakuratan faktual.
"Meskipun kami tetap berkomitmen pada keterlibatan yang konstruktif dengan regulator Indonesia, kami ingin memastikan fakta tentang bagaimana layanan kami beroperasi sebenarnya dipahami dengan benar. Itulah sebabnya kami dengan hormat mengajukan banding atas putusan tersebut, yang didasarkan pada kesalahpahaman mendasar tentang ekonomi aplikasi dan cara kerja bisnis kami," jelas perwakilan Google dalam keterangan resminya.
Tantangan Regulasi di Indonesia
Nailul menilai bahwa tantangan utama dalam kasus ini adalah bagaimana KPPU menangani perkara tersebut. Selama ini, KPPU memiliki kewenangan untuk menyelidiki dugaan praktik anti persaingan, namun penanganan perkara masih terpusat dalam internal KPPU sendiri.
"Oleh karena itu, perlu adanya persidangan terkait persaingan usaha dengan pengadilan khusus yang lebih independen, mirip dengan sistem peradilan lainnya di negara-negara dengan regulasi antimonopoli yang lebih maju," ujar Nailul.
Temuan KPPU Terkait Dugaan Monopoli Google
Dalam putusan sidangnya, KPPU menemukan sejumlah bukti yang menunjukkan praktik monopoli oleh Google LLC di Indonesia, di antaranya:
Kewajiban Penggunaan Google Play Billing Google mewajibkan para pengembang aplikasi yang mendistribusikan produknya melalui Google Play Store untuk menggunakan GPB System dalam transaksi pembelian produk dan layanan digital dalam aplikasi (in-app purchase). Kebijakan ini membatasi pilihan pengembang dalam memilih sistem pembayaran yang lebih sesuai atau menguntungkan.
Biaya Layanan yang Tinggi Melalui penerapan GPB System, Google mengenakan biaya layanan (service fee) sebesar 15% hingga 30% dari setiap transaksi. Besaran biaya ini dianggap memberatkan pengembang aplikasi, mengurangi pendapatan mereka, dan pada akhirnya dapat mempengaruhi harga serta aksesibilitas bagi konsumen.
Dominasi Pasar KPPU mencatat bahwa Google menguasai sekitar 93% pangsa pasar distribusi aplikasi di Indonesia. Dominasi ini membuat pengembang aplikasi memiliki keterbatasan pilihan platform distribusi, sehingga terpaksa mematuhi kebijakan dan persyaratan yang ditetapkan oleh Google, termasuk penggunaan GPB System.
Sanksi terhadap Pengembang Google disebut menerapkan sanksi tegas bagi pengembang yang tidak mematuhi kebijakan penggunaan GPB System, termasuk penghapusan aplikasi dari Google Play Store. Tindakan ini dinilai membatasi pasar dan menghambat pengembangan teknologi oleh para pengembang lokal.
Kesimpulan
Kasus antara KPPU dan Google menjadi sorotan penting dalam ekosistem digital Indonesia. Meski dominasi Google di pasar aplikasi tidak dapat disangkal, perdebatan tentang apakah hal tersebut telah mengarah pada praktik monopoli masih berlanjut. Putusan KPPU bisa menjadi preseden bagi regulasi teknologi di Indonesia, terutama dalam memastikan persaingan usaha tetap sehat dan inovasi tidak terhambat.
Pada akhirnya, apakah dominasi Google dalam ekosistem digital merupakan bagian dari persaingan usaha yang wajar atau sudah memasuki ranah monopoli, akan sangat bergantung pada bagaimana regulasi diterapkan dan sejauh mana keterbukaan perusahaan teknologi dalam menyesuaikan praktik bisnis mereka dengan aturan yang berlaku di Indonesia.