Ketegangan Elon Musk dan Donald Trump Memuncak Gara-Gara Tarif Dagang, Tesla Ikut Terpukul!
Tanggal: 8 Apr 2025 19:54 wib.
Tampang.com | Hubungan antara Elon Musk dan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang dulunya terlihat erat kini mulai menunjukkan keretakan. Pemicu utamanya adalah kebijakan baru yang diumumkan Trump terkait tarif impor, yang dinilai berisiko memicu gejolak ekonomi global dan secara langsung mengancam bisnis Musk, termasuk Tesla.
Dalam pernyataan yang disampaikan pekan lalu, Trump mengumumkan bahwa pemerintahannya akan memberlakukan tarif baru terhadap produk-produk dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Tarif tersebut digambarkan sebagai kebijakan "resiprokal", meskipun istilah tersebut justru memicu kebingungan dan kritik dari sejumlah pengamat ekonomi dan pelaku industri. Inti dari kebijakan ini adalah, produk luar negeri yang masuk ke pasar Amerika akan dikenai pajak yang lebih tinggi, membuat harga barang menjadi lebih mahal bagi konsumen AS.
Elon Musk Menentang Kebijakan Tarif
Sebagai tokoh bisnis global, Elon Musk secara terbuka menyuarakan penolakannya terhadap kebijakan Trump tersebut. Menurutnya, tarif tinggi justru akan mempersulit rantai pasok internasional dan menambah beban bagi perusahaan-perusahaan Amerika, termasuk Tesla, yang sangat bergantung pada komponen impor, khususnya dari China.
Musk bahkan menyuarakan aspirasinya agar Amerika Serikat dan Eropa bisa bergerak menuju sistem perdagangan bebas yang sesungguhnya. Dalam sebuah wawancara virtual yang dikutip dari NewRepublic pada Selasa (8/4/2025), Musk menyampaikan harapannya agar kebijakan tarif dihapus sepenuhnya antara Amerika dan Eropa.
"Saya sangat berharap akan ada kesepakatan antara AS dan Eropa untuk menghapuskan tarif secara menyeluruh. Hal ini akan menciptakan zona perdagangan bebas lintas benua yang saling menguntungkan," kata Musk.
Tak hanya itu, ia juga mendorong adanya kebijakan imigrasi yang lebih terbuka. Menurutnya, kebebasan bergerak antarnegara seharusnya tidak dibatasi, terutama bagi tenaga kerja yang ingin berkontribusi di sektor-sektor strategis.
"Saya pikir orang harus memiliki kebebasan untuk bekerja di mana pun mereka mau, baik di Eropa maupun Amerika. Itu akan sangat bermanfaat secara ekonomi dan sosial," tambahnya.
Referensi ke Ekonom Legendaris
Untuk memperkuat pendapatnya, Musk juga membagikan sebuah video lama yang menampilkan ekonom konservatif terkenal, Milton Friedman. Dalam klip tersebut, Friedman menjelaskan betapa pentingnya perdagangan internasional yang bebas untuk menjaga kestabilan harga dan mendukung efisiensi produksi. Ia mengambil contoh sederhana: pensil.
"Pembuatan satu pensil saja melibatkan banyak komponen dari berbagai negara — mulai dari kayu, grafit, hingga logam. Jika tidak ada sistem perdagangan bebas, harga satu pensil bisa sangat mahal," kata Friedman dalam video tersebut, yang diunggah ulang oleh Musk.
Pesan Friedman yang disorot Musk sangat jelas: pasar bebas tidak hanya penting untuk efisiensi produksi, tetapi juga untuk menciptakan harmoni dan perdamaian di dunia internasional.
Kebijakan Trump Dinilai Memicu Ketegangan Global
Sayangnya, visi pasar bebas yang didorong oleh Musk tampaknya bertolak belakang dengan arah kebijakan Presiden Trump. Sejak dilantik kembali pada Januari 2025, Trump terus menggencarkan retorika perang dagang terhadap negara-negara yang dianggap sebagai "lawan" ekonomi Amerika, seperti China dan Rusia.
Namun, kebijakan terbaru Trump tidak hanya menyasar negara-negara besar tersebut. Negara berkembang seperti Indonesia juga ikut terkena imbasnya. Tarif baru yang diumumkan secara sepihak memicu reaksi keras dari berbagai negara dan pelaku bisnis global.
Pasar finansial pun langsung merespons. Dalam waktu singkat, bursa saham di berbagai belahan dunia mengalami penurunan drastis. Perusahaan teknologi, termasuk Tesla, menjadi salah satu yang paling terpukul. Reuters melaporkan bahwa saham Tesla anjlok hingga 7% hanya dalam satu hari, turun menjadi US$223 per lembar saham. Bahkan, sejak awal tahun 2025, saham Tesla telah kehilangan nilai hingga 37%.
Dampak Politik dan Finansial Bagi Musk
Ironisnya, Elon Musk adalah salah satu pendukung paling vokal Trump selama kampanye pemilu. Ia tidak hanya menyuarakan dukungan melalui platform media sosial seperti X (sebelumnya Twitter), tetapi juga secara finansial. Musk dilaporkan menyumbang dana kampanye sebesar US$52 miliar, menjadikannya salah satu donatur terbesar dalam sejarah politik Amerika.
Namun, dukungan itu kini seolah menjadi bumerang. Reaksi publik terhadap sikap politik Musk memicu boikot terhadap Tesla dan produk-produk lainnya yang terafiliasi dengannya. Banyak konsumen yang menilai bahwa keberpihakan Musk terhadap kebijakan Trump justru bertentangan dengan prinsip ekonomi terbuka yang ia sendiri perjuangkan.
Kesimpulan: Akankah Musk dan Trump Putus Hubungan?
Situasi ini menciptakan dilema besar bagi Elon Musk. Di satu sisi, ia ingin mempertahankan visi globalnya tentang perdagangan bebas dan pergerakan tenaga kerja lintas negara. Di sisi lain, dukungannya terhadap Trump kini justru mengancam bisnis dan reputasinya sendiri.
Belum ada pernyataan resmi dari pihak Gedung Putih mengenai kritik Musk, namun banyak analis memprediksi hubungan keduanya akan semakin renggang ke depan. Apakah Musk akan menarik dukungannya? Ataukah ia akan mencoba berdialog untuk memengaruhi arah kebijakan Trump dari dalam?
Yang pasti, kisruh tarif ini membuka babak baru dalam dinamika hubungan antara politik dan bisnis di era modern, di mana kepentingan nasional dan kepentingan global sering kali berjalan tidak seiring.